2

21 5 0
                                    

8 November 1982, 15:34

She's a Killer Queen

Gunpowder, gelatine

Dynamite with a laser beam

Guaranteed to blow your mind

Anytime...

Musik terputar keras di pemutar vinil besar di sudut ruangan milik Rebekah. Elsie bersandar di kaki sofa berwarna hijau zamrud yang terlapis dengan kilat-kilat emas berbentuk, mengerjakan tugasnya. Di depannya Rebekah sedang menari sambil bernyanyi, berputar dan berterbangan seperti kepingan salju yang jatuh di malam musim dingin pertama. Terkadang dia berpikir bahwa menjadi sahabatnya saja tidak cukup, dia ingin menjadi dirinya, dia perlu menjadi dia. Agar orang benar-benar melihatnya tidak melihat melalui dirinya. Tetapi dia tahu itu tidak benar, kecemburuan tidak akan membawanya kemana-mana.

"Els, ayolah PR bisa nanti aja!" Rebekah berkata sambil mencoba menarik tangan Elsie.

"BEX, bentar satu nomor lagi janji," dia menjawab sambil berjuang mencoba tetap diam.

"Emang kamu udah selesai yang ini?" dia melanjutkan sambil menunjuk buku yang sedang dia kerjakan itu.

"Udah dong, aku kerjain langsung abis diumumin." Rebekah menjawab dengan sengir itu lagi.

"Sumpah aku ga ngerti gimana nilaimu bisa jelek kalo kamu emang rajin beneran." Elsie berkata dengan bergeleng kepala.

"Never said I did it right." Rebekah menjawab dengan mengangkat bahu sederhana, lalu dilanjut dengan tawaan yang terbahak-bahak dari kedua perempuan itu.

To avoid complications

She never kept the same address

In conversation

She spoke just like a baroness...

8 November 1982, 19:12

Jalan gelap yang hanya diterangi oleh lampu redap jalan menyambutnya. Genangan air di setiap langkah lain. Kanannya taman yang terbengkalai dengan dedaunan yang berserakan, kirinya toko dengan jendela kaca yang pecah, isinya berantakan dan tanpa keraguan banyak yang hilang. Lampu jalan yang menyala berkedip-kedip, rumah Rebekah dan Elsie memang jauh namun dia mengetahui beberapa jalan singkat yang ia selalu lalui. Bagian megah Spearthill tidaklah besar, hanya diisi oleh beberapa rumah mewah milik para pihak berwajib kota. Rumah bercompang-camping mengisi sisa kota kecil tersebut.

Kriminal memang tidak asing di kota tersebut, setiap bulan pasti ada perampokan, pendobrakkan, dan pencurian. Elsie sudah terbiasa dengan itu, namun dia tidak pernah berpikir bahwa dia akan mendengar suara yang memekakkan telinga itu. Segala sesuatu di sekitarnya tampak berhenti. Pikirannya berjalan satu juta mil per jam. Dia tersentak, keras. Namun pada saat yang sama tubuhnya sepertinya tidak bisa bergerak.

DUARRR, suara itu terus berputar ulang di pikirannya, atau mungkin itu yang dia pikir. Saat penglihatannya kembali berjalan pemandangan yang dia lihat membuatnya terbisu. Darah menyembur kemana-mana. Muka familiar yang samar-samar terlihat tepat sebelum peluru menembusnya dan akhirnya menyentuh tanah, muka yang berupa muka milik wakil walikota sendiri. Jantungnya berhenti berdetak, tetapi orang dengan pistol melihatnya dengan mata iblisnya, dan pada saat itu dia merasa seperti dia tahu bagaimana rasa ungkapan "jiwanya meninggalkan tubuhnya."

Kakinya mulai bergerak cepat tanpa kendalinya, bertindak berdasarkan insting. pikirannya masih belum bisa memproses apapun, tapi telinganya bisa mendengar langkah kaki yang semakin keras setiap milidetik. Penglihatannya kabur, tapi dia bisa melihat gang kecil di mana dia pikir dia mungkin bisa bersembunyi. Tangannya bisa meraba tembok kasar yang dia sandari di gang itu. Otaknya telah berhenti mengiang-ngiang dan telinganya tidak dapat mendengar jejak kembali. Dia menghela napas dalam-dalam, melihat keatas untuk mencari semacam bimbingan. Detak jantungnya akhirnya kembali ke kecepatan normal. Dia baru saja akan bersantai ketika dia merasakan belati menusuk permukaan tenggorokannya.

"Please jangan bunuh saya, saya gak liat apa-apa!" tangis Elsie putus asa, matanya mengerut dan terpejam dengan air mata yang jatuh dari setiap kelopaknya. Punggungnya ditekan keras ke dinding kasar di belakangnya, kepala menoleh sejauh tubuhnya memungkinkan.

"Beri saya satu alasan mengapa saya tidak harus membunuhmu sekarang juga di tempat ini," katanya mengancam, wajahnya yang bernoda darah mendekat, mata tajam menembus kepalanya. Belati menggali lebih dalam ke tenggorokan Elsie. Zat merah bercahaya mulai menetes dan menodai atasannya. Meski tidak cukup dalam untuk melukainya secara permanen, Elsie pasti bisa merasakan sengatannya. Belati itu mungkin belum memberikannya bekas luka, tetapi dia yakin ini akan berbekas.

"Tolong, Ibu saya akan pikir saya meninggalkan dia. Dia sudah cukup memiliki orang yang terus meninggalkannya," dia melanjutkan ratapannya, jauh di lubuk hatinya dia tahu ini tidak cukup. Seorang pembunuh yang membunuh dengan darah dingin tidak akan bersimpati pada seorang ibu yang ditinggalkan suaminya untuk membesarkan anaknya seorang diri.

"Anda pikir saya peduli dengan ibumu yang malang, yang memiliki masalah pengabaian?!" Pembunuh itu tertawa sinting, mengejek Elsie lalu menatap tak percaya, memutar kepalanya sedikit ke kiri.

"Apakah anda benar-benar percaya itu akan berhasil?" dia melanjutkan dengan mengejek.

"Saya tidak akan memberitahu siapa pun! Saya janji! Tolong biarkan saya pergi!" Elsie berkata, berusaha untuk tidak menggelengkan kepalanya dengan panik, takut belati yang ditekan tepat ke tenggorokannya.

"Itu tidak cukup sweetheart. Bagaimana saya tahu Anda mengatakan yang sebenarnya tanpa ada yang bisa ditawar?" dia berkata kembali, melanjutkan tatapan mengejek. "Saya mau alamatmu." sang pembunuh menambahkan.

Elsie berpikir sejenak, memberi sang pembunuh alamatnya akan membawa bahwa yang sangat besar. Ibunya yang bekerja dan pulang pada malam hari tidak akan sadar bahwa ada penyusup yang masuk ke rumahnya. Elsie tidak akan membiarkan apapun di dunia ini untuk menyakiti ibunya.

"Saya akan membantu Anda membersihkan tubuhnya." Elsie berkata dengan cepat, dan bodoh. Sang pembunuh mengangkat alisnya. Mempertimbangkan perkataan Elsie. Akhirnya dia berkata, "Kurang."

"Saya akan membantu Anda dengan target Anda berikutnya." Elsie kembali menawarkan tanpa memikirkan apa yang dia perkatakan. Di saat itu pikiran Elsie bertetap kepada ibunya dan ibunya sendiri, namun seiring berjalannya waktu dia akan belajar bahwa dia menyesali perkataan ini. Tetapi saat ini Elsie belum tahu itu dan dia hanya berpikir bahwa dia tidak akan perlu melihat wajah sang pembunuh karena dia tidak tahu dimana tempat rumahnya.

Sang pembunuh akhirnya melepas belati dari tenggorokannya, lalu mendorong Elsie maju untuk membantu membersihkan mayat yang terlantar di genangan darahnya. Dia membersihkannya dengan wajahnya yang menggeliat, mencoba untuk tidak memikirkan bagian anggota tubuh yang dia bawa untuk dibuang adalah bagian dari orang yang hidup hanya beberapa menit yang lalu.

Selain noda air mata di wajahnya, darahnya yang kering di lehernya dan pada dasarnya darah kering wakil walikota di setiap celah kulitnya yang terbuka, dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia baik-baik saja. Dia hanya butuh pelukan dari ibunya yang sekarang dia yakin sudah aman, dan untuk berbicara dengan Rebekah. Seharusnya tidak ada yang tahu, tetapi Si Pembunuh telah memasang pelacak di bagian belakang kemejanya, jadi semuanya diperkirakan akan berjalan dengan salah. Dia baru menyadari ini ketika dia hendak membakar pakaiannya yang berlumuran darah di dekat rumahnya. Ini hanya bisa berarti satu hal, si pembunuh tahu di mana dia tinggal.


Malam Kemarin di Gang BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang