1

31 7 1
                                    

12 November 1982, 23:41

Bajunya berlumuran darah, setetes air mata jatuh ke tangannya yang terlapis tipis dengan kemilau merah yang tidak enak dipandang. Dia menatap ke dalam kegelapan, hujan menghapus kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dia ingin berteriak, melakukan sesuatu, merasakan sesuatu. Tetapi suaranya tidak keluar, anggota tubuhnya menolak untuk bergerak dan jantungnya terasa seperti dicakar keluar. Meninggalkan jiwanya dengan apa-apa selain kekosongan. Tidak dapat melihat, mendengar, dan merasakan apapun.

Dia tidak memiliki apa-apa lagi, dan mengecewakan semua orang di jalan, mengkhianati kepercayaan setiap orang yang pernah dia cintai dan sayangi. Karena saat ini dia hanya memiliki satu hal untuk mencegahnya menjadi gila, tetapi dia bertanya-tanya. Dia bertanya-tanya bagaimana jadinya jika dia adalah putri yang lebih baik, teman yang lebih baik, orang yang lebih baik. Dia bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika dia tidak melakukan kesalahan itu. Dia bertanya-tanya bagaimana hidupnya menjadi seburuk ini? Tetapi dia tidak ingin bertanya-tanya apa yang tersisa darinya.

8 November 1982, 9:00

Elsie akhirnya menulis huruf terakhir yang tertulis di papan tulis tepat sebelum bel mulai berteriak, mengingatkan mereka tentang akhir kelas. Sisa kelasnya mulai berdiri dan mengambil tas, namun masih Elsie terburu-buru membereskan semua alat tulis dan buku-buku yang terlantar di atas mejanya.

"Saya yang membubarkan kalian dari kelas bukan bel!" teriak Ms. Eunike guru kimia mereka yang diabaikan oleh seluruh kelas. Ms. Eunike menghela nafas dengan pasrah sementara murid-murid lain mulai meninggalkan kelas dengan antusias. Saat elsie ingin keluar dari kelas ia mendengar gurunya yang memanggil namanya.

"Elsie tunggu sebentar," ia berseru.

"Ya Ms, ada yang bisa saya bantu?" jawab Elsie.

"Kamu adalah siswa terbaik di kelas saya," Ms. Eunike berkata dengan dengan jeda.

"Maka dari itu saya ingin meminta tolong. Bisakah kamu menutor?"

"Maaf Ms, kayaknya saya gak bisa karena jadwal saya lumayan penuh," dia jawab sepenuh hati, dia memang suka sekolah dan menikmati mendapat nilai baik, namun dia tidak cukup gila untuk menyukai sekolah sebanyak itu.

"Ayolah Elsie, kamu akan mendapatkan nilai tambahan dan ini akan terlihat bagus di aplikasi kuliahmu!". Elsie melirik ke atas, untuk berfikir, mencoba keluar dari labirin di kepalanya dan sekaligus menghindari tatapan mata gurunya.

"Baik Ms, akan saya akan mengatur ulang jadwal saya dan saya akan kasih tahu ms jika ada periode bebas," dia katakan sambil berjalan keluar agar dia tidak ditanya lebih banyak pertanyaan lagi. Dia mulai berjalan di koridor yang ramai dan sesak, sebelum seorang murid menabraknya.

"Heh, lu kalo jalan liat-liat dong," Elsie mendengar suara yang familiar dari belakang kepalanya.

"Nabrak sana-sini, kalo lu buta mending cari sekolah yang pas bukan disini!" suara itu melanjuti kata-kata kejamnya. Dia menghela nafas tak terdengar, akibat kata-kata yang dilempar, namun tak melakukan apa-apa. Kemudian ia merasa tangannya yang di pegang dengan lemah lembut, suara dari sumber yang sama berkata, "Els, kamu gapapa?"

"Rebekah, dia nggak nabrak sengaja kok, ini emang lagi rame."

"Ya tapi ga sopan aja, kan kalo jalan emang harus liat-liat."

Elsie tertawa kecil sambil menggelengkan kepala atas kekeras kepalaan temannya. Elsie dan Rebekah terus jalan di koridor tanpa ada orang lain yang mendekati mereka, takut karena aksi Rebekah sebelumnya.

"BTW, kamu kenapa telat istirahat?" tanya Rebekah

"Oh, itu Ms. Eunike nawarin buat ngenutor murid lain." Elsie bilang, tanpa terlalu memikirkannya.

"Siapa?" dia kembali melontarkan pertanyaan.

"Nggak di kasih tau sih," dia berpikir balik, mencoba menggali ingatannya ke saat beberapa menit sebelum itu.

"Kamu bilang ya apa nggak?" Rebekah melanjutkan dengan nada yang sedikit tinggi.

"Aku bilang, dan aku quote 'baik Ms, akan saya akan mengatur ulang jadwal saya dan saya akan kasih tahu ms jika ada waktu bebas'." Elsie menjawab temannya dengan cepat, ingin percakapannya berakhir dan larut ke topik baru.

"Tapi aslinya kamu mau ambil?" Rebekah bertanya sambil mengangkat alisnya. Elsie berpikir, ia berpikir tentang waktunya yang akan tersia-siakan melakukan hal yang tidak dia ingin lakukan dan sebenarnya, tidak membawa banyak untung untuknya. Waktu yang dia bisa habiskan dengan temannya atau keluarganya. Tetapi suara gurunya terdengar kembali, jauh di belakang kepalanya, redam tetapi sangat jelas pada waktu bersamaan, bahwa ini akan membantunya mendapat beasiswa.

"Ngga tau sih, tapi ada kemungkinan karena bagus buat dapetin beasiswa" lanjutnya

"Els, lo tau kan kalo ga semua penawaran harus diterima, dan semua murid di sekolah ini udah tau kamu murid paling pinter, ga perlu nutor orang buat beasiswa. Pake aja otak brilian lu itu." Rebekah mengakhirkan kata-katanya dengan menunjuk ke dahi Elsie. Dia ingin senyum karena pujian yang diutarakan temannya, dan dia melakukannya hanya secara internal. Secara eksternal, dia memasang ekspresi wajah yang telah dia pasang beribu-ribu kali sebelumnya.

"Bex," dia mengatakan.

"Yeah, ok," Rebekah menghela nafasnya dengan pasrah. "But, just saying, kamu pasti bisa dapet beasiswa tanpa harus banyak kerja kok, dan kalo emang gak bisa, I'll loan you some money, you know I'm rolling in it dan gatau mau buat apa," lanjut Rebekah dengan sengir yang jarang ia tunjukki. Elsie hanya tertawa, mengetahui ia tidak akan pernah menerima pinjaman uang dari temannya. Juga mengetahui bahwa Rebekah tidak akan mengerti dia tidak akan pernah perlu untuk memikirkannya.

Mereka segera duduk ditempat yang sepertinya disediakan untuk mereka, tidak ada murid lain yang pernah duduk di meja satu itu, Elsie tahu bahwa ini terjadi dibawah pengaruh Rebekah, ia masih tidak mengerti bagaimana temannya itu ditakuti tetapi dikagumi secara bersamaan oleh satu sekolah. Sendok yang baru mau masuk ke mulutnya terhentikan saat dia mendengar suara.

"Hai Rebekah Ferox, gue Ryan Hidayat," orang yang tampaknya bernama Ryan berkata dengan bergetar.

"Lo mau ga m-" Ryan kembali berkata sebelum kalimatnya terpotong dengan suara yang cukup lantang, tak lain dari Rebekah sendiri.

"Ga tertarik makasih." kata Rebekah dengan dingin. Elsie merasa ingin tertawa terbahak-bahak akibat ke-frontalan temannya, tetapi dia masih memiliki cukup rasa hormat untuk tidak melakukannya. Maka dia kembali memasukkan makanan untuk dicerna tubuhnya. Setelah orang itu pergi Rebekah langsung mengganti topik dengan rencana apa yang ingin dia lakukan setelah sekolah.

"Els, pulsek ke rumahku, sampe jam 7 ok." kata Rebekah

"Ok," dia katakan sembarangan, lagian dia tidak memiliki rencana untuk hari ini, melainkan tugas sekolah. Dia juga merasa semua orang tahu mengerjakan tugas sekolah lebih nyaman dibuat di rumah mewah Keluarga Ferox yang merupakan rumah walikota Spearthill, daripada rumahnya yang sederhana dan panas. 

Malam Kemarin di Gang BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang