Prolog

39 18 61
                                    

Malam yang sunyi hanya terdengar suara jangkrik berpaduan suara dengan nyaring nya itu.

Semilir angin malam yang berhembus kencang dengan aroma bunga sedap malam yang menghiasi malam itu.

Suara dobrakan pintu yang sangat keras membuat kesunyian itu langsung sirnah.

Terlihat seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan tubuh yang basah kuyup karena hujan yang sangat deras berdiri tepat di tengah-tengah pintu.

Dengan wajah menakutkan seakan-akan ingin memangsa orang, laki-laki itu masuk ke dalam rumah dengan langkah yang panjang dan cepat masuk ke sebuah ruangan, sepertinya itu adalah kamar seseorang.

Di dalam kamar sangat gelap sekali, hanya sinar lampu tidur remang-remang yang menerangi sebagian ruangan.

Terlihat anak kecil dengan tubuh meringkuk di pojok ruangan berusaha melindungi dirinya itu, getar tubuh nya seakan-akan peristiwa menakutkan akan terjadi.

"Agasa!" teriak laki-laki itu dengan lantang nya sampai-sampai suaranya menggema ke seluruh ruangan.

Anak kecil itu yang sepertinya adalah orang yang dipanggil bertambah ketakutanya, tubuhnya gemetar dengan hebat keringat-keringat dingin bercucuran di seluruh tubuhnya degub jantung nya berdetak dengan sangat kencang.

"Sini kamu Agasa," raung lelaki itu.

Entah apa yang terjadi kepada lelaki itu hingga ia marah sebesar ini.

Lelaki itu segera menghampiri Agasa anak dengan tubuh kecil kurusnya yang masih gemetar itu.

Sepertinya hal ini sudah menjadi tontonan yang biasa saja bagi para penghuni rumah tersebut.

Para pembantu rumah hanya berbisik dengan satu sama lain tanpa tidak ada satupun yang berani ataupun peduli dengan mereka berdua.

"Bruaakkk...." hentakan keras di dinding hingga membuat semua orang kaget bukan main.

Agasa anak yang malang selalu menjadi pelampiasan amarah Ayah nya yang di ketahui namanya, Pak Prawibowo atau akrab dipanggil Pak Bowo.

Dengan sakit punggung nya akibat lemparan keras Ayah nya ketembok berbahan beton yang sangat keras itu.

Sakit sekali rasanya, punggung nya  terasa nyeri darah yang masih segar mengalir dari kepala Agasa hingga menghiasi seluruh wajah nya.

Tak berhenti di sini saja, amarah Ayah nya belum usai.

Ia mengambil sebuah kursi yang ada di dekat nya, dengan ancang-ancang tangan ke atas dengan membawa kursi yang siap untuk menghentakan nya ke tubuh malang Agasa.

Dengan cepat seseorang dari belakang Pak Bowo dengan sigap berusaha menghentikanya.

"Sudah Yah cukup, Agasa tidak salah apa-apa," ujar orang itu dengan memegangi ke dua lengan Pak Bowo dengan sekuat tenaga nya.

Anak itu adalah Radika, anak pertama dari tiga bersaudara keturunan Bowo Company yang merupakan perusahaan industri terbesar No.1 di Asia.

"Kamu nggak usah ikut campur, Anak pembawa sial ini perlu dikasi pelajaran," pekik Pak Bowo,

Radika tetap menahan Ayahnya dengan amarahnya yang meledak-ledak,

Agasa tergeletak lemas tak berdaya dirinya hanya berpasrah dengan terus mengusap darah di kepalanya yang terus mengalir tak henti-henti.

Meski Agasa terlihat sangat memprihatinkan tapi itu tak membuat amarah Ayah nya bisa reda malahan membuat Pak Bowo sangat jijik melihat nya.

"Bruaak..."

Hentaman keras bantingan kursi ke lantai, Untuk kali ink Agasa selamat bukan badan nya yang terkena hentaman kursi tersebut.

Pak Bowo langsung berbalik badan keluar meninggalkan Agasa yang tergeletak lemas di lantai.

Radika pun juga demikian, ia langsung keluar tanpa membantu Agasa bangun atau pun melihat luka nya.

Jangan kan melihat atau pun membantu Agasa, menanyakan keadaan nya saja tidak.

"Bela sendiri dirimu, jangan biarkan orang lain berani menginjak-injak harga diri, lawan orang itu jangan menjadi pecundang yang hanya menangis maratapi nasip, ingat nasip bisa diubah jika kita mau berusaha mengubahnya," ucap Radika yang masih berdiri ditengah pintu membelakangi Agasa.

Agasa hanya melihat punggung kakak nya, ia menahan rasa sakit yang masih menempel di badan nya.

Sungguh malang nasip Agasa, dilahirkan di keluarga yang penuh dengan siksaan fisik maupun tekanan batin.

Tak ada satupun orang yang memperdulikan Agasa yang terluka sangat parah itu, hanya ada salah satu pembantu yang memberikan kotak P3K.

"Kamu obati saja sendiri, saya nggak dibayar untuk urusin kamu, saya hanya merasa kasihan melihat mu seperti ini," tutur pembantu itu dan lekas pergi meninggalkan Agasa sendiri.

Memang ia sudah biasa dengan itu, Agasa disini hanyalah pembawa sial keluarga, Agasa tak pernah dianggap ada, itu karena Agasa tidak pintar dan tak unggul dalam apapun, hobinya hanya membaca komik bergenre Thriller kesukaan nya yang dipandang aneh keluarga.

Tidak seperti saudaranya Radika atau Rahnes yang selalu unggul dalam apapun, setiap hari selalu mendapatkan penghargaan.

Piala,medali, dan piagam berjejer rapi di almari besar, tercantum dalam piala nama-nama mereka berdua hanya Agasa yang tidak ada namanya dan tidak akan pernah ada.

Kedua kakanya itu selalu di nomer satukan, mereka berdua selalu dimanjakan.

Bukan salahnya jika Agasa terlahir bodoh, dalam umur nya yang baru 10 tahun itu Agasa telah menerima rentetan siksaan dan kesengsaraan hidup yang diberikan oleh keluarga Agasa sendiri.

Ia punya keluarga tetapi, Agasa tak parnah merasakan bagimana rasanya kehangatan pelukan seorang Ibu dan cinta kasih sayang orang tua.

Dan dihari ini dan tahun ini Agasa akan mengakhiri penderitaan ini sendiri.

Ia tak membutuhkan keluarga seperti ini yang ia butuh kan sekarang adalah menjadi orang yang paling di atas dengan bergelimangan harta benda hingga tak ada yang akan berani menginjak dan merendahkanya.

~Number One~








Number OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang