Namaku Farah, sebelum menikah dgn suamiku yg skrg, aku pernah menyandang status janda, aku menikah muda kala itu dan belum sempat dikaruniai anak, belum sampai setahun pernikahan, suami pertamaku meninggal dunia, jadilah aku menyandang status janda di usia 22 tahun.
Skrg usiaku 24 tahun, dan aku baru saja menikah dgn seorang pria berusia 36 tahun, meski jauh lebih tua namun mas Gea tampan dan giat bekerja, ia cukup mapan dan memiliki banyk tabungan, sangat bisa diandalkan sebagai suami menurutku, berbeda dgn kehidupan dgn mantan suamiku sebelumnya yg masih belum memiliki pekerjaan tetap.
Hanya saja ada hal yg awalnya sempat buat aku kecewa, lebih tepatnya aku syok berat, sebab di malam pertama pernikahan kami, suamiku mengakui kalau ia seorang gay.
Tak perlu kujelaskan betapa sedihnya aku wkt itu, namun aku kini justru merasa sebaliknya, yg terpenting kebutuhanku secara ekonomi selalu tercukupi, lagi pula suamiku memberiku kebebasan berhubungan dgn siapa saja, meski aku sempat merasa kalau ini aneh, tapi setelah kurang lebih satu bulan, aku malah bersyukur.
"Sudah pulang mas.." Sambutku dgn senyuman saat membukakan pintu utk mas Gea yg baru pulang dari kantornya.
"Sudah dek, kamu baik2 aja kan di rumah? Sudah makan?"
"Sudah mas, kan aku tiap hari masak, harusnya aku yg tanya mas sudah makan apa belum?"
"Belum sih, mas terlalu sibuk di kantor sampai melewatkan jam makan siang.."
"Ya sudah, aku siapin makanan buat mas ya, mas tunggu aja di meja makan.."
Beberapa saat kemudian makanan pun selesai kuhidangkan di meja makan, mas Gea pun makan tanpa kutemani, aku memilih pindah duduk ke sofa tuk menonton televisi yg tak jauh dari posisi mas Gea makan.
"Dek.."
"Ya mas,, kalau sudah selesai makannya tinggalin aja mas, biar aku yg beresin.." Ujarku tanpa berpaling dari menatap layar televisi.
"Ng,, kamu gak apa2 kan dek..?"
"Ya gak lah mas, udah biasa kok beres2 gini dari kecil.."
"Maksud mas, tentang pernikahan kita..."
Seketika kukecilkan volume suara tv, aku menoleh ke belakang ke arah mas Gea berada, namun aku masih memikirkan kata2 yg hendak kusampaikan utk merespon ucapannya, alhasil aku hny terdiam sejenak.
"Sejujurnya, kian hari mas kian merasa bersalah sama kamu.."
"Gak apa2 kok mas.., mas bilang mas terpaksa menikah krn desakan keluarga kan, kita udah sepakat dan aku bisa kok jalani ini semua, "
"Tapi... andai suatu saat kamu ingin menikahi pria yg bisa mencintai kamu, mas janji mas bakal ceraikan kamu dan gak akan menahan kamu, meskipun itu artinya mas bakal kesulitan lagi menghadapi keluarga mas..."
"Tenang mas.. kyknya cintaku cuma utk mantan suamiku yg sudah meninggal, aku lebih realistis skrg, yg penting mas tepati janji mas utk selalu menafkahi aku, di luar, kita bersikap seperti suami istri, namun di rumah kita kakak adik, sedangkan pacarnya mas adalah rahasia kita berdua." Jawabku sok bijak.
"Siap...!Uang bukan masalah buat mas." Mas gea tersenyum sambil menyimbolkan penghormatan dgn tangan di dahinya.
Hampir setiap malam mas Gea membawa teman prianya itu ke rumah, bahkan sampai menginap, tak jarang kami ngobrol bertiga di ruang tv, tertawa bersama, makan bersama, lalu kemudian mereka masuk ke kamar dan bercinta sepuasnya, kulihat pancaran kebahagiaan dari wajah mas Gea tiap kali bersama pria itu, mereka sepertinya saling mencintai.
Berbeda dgn mereka yg bisa terang2an mengumbar kemesraan, aku pasti harus bersandiwara jika membawa pria ke rumah ini, tak mungkin juga kujelaskan kalau suamiku mengizinkan aku tuk bercinta dgn pria lain di rumah kami, status pria yg kubawa ke rumah otomatis hanyalah seorang selingkuhan. Namun tidak masalah, toh aku juga tak ingin punya hubungan serius dgn seorang pria, bagiku sekarang uang adalah segalanya, dan mas Gea bisa memenuhinya untukku.