Bletakk...!! Sebuah tamparan nakal mengarah ke pantatku saat aku tengah memasak di dapur.
"Aww!! Mas Rafa,, ngapain sih..?!"
"Hahaha... kaget ya... gimana rasanya, enak donk,, apa lg kalo cwok beneran yg nampol, rasanya pasti eummh.. hihihi"
"Enak apaan, sakit tau..."
"Usil banget sih kamu sama adik aku hmm... jangan bilang kalo kalian selingkuh ya.." Mas Gea nongol dari belakang sambil mencubit pantat mas Rafa, membalas kelakuannya padaku.
"Ahh..."
"Kenapa.. sakit..?!"
"Sedikit..!"
"Selebihnya..?!"
"Mmmh nikmat...!" Jawab mas Rafa dgn ekspresi nakal sambil menggigit bibirnya. Mereka pun bercumbu di depanku, sementara aku cuma nyengir melihat kelakuan mereka.
Kami punya kebiasaan baru di rumah, yakni bertelanjang tanpa sehelai benang pun, sebenarnya aturan ini mereka yg buat dan diperuntukkan buat mereka saja, tp aku malah ikut2an krn kupikir cukup seru juga.
Siang ini kami sedang menyiapkan acara di rumah utk menyambut seorang tamu, suamiku bersikeras ingin mengundang Zen ke rumah kami, begitu pula mas Rafa, mereka berharap terjadi hubungan yg spesial diantara kami, apa lg saat mereka tau kalau aku dulu pernah berpacaran dgn Zen.
Jam sudah menunjukkan pukul 1 siang, segalanya sudah beres dan tentunya kami sudah berpakaian kembali layaknya orang normal, ya, kami mengakui tindakan kami barusan memang tak normal, tp itu menyenangkan.
Tak menunggu lama, Zen pun datang memenuhi undangan suamiku, kami mengundangnya dgn alasan sebagai rasa terimakasih krn telah mengantarkanku tempo hari, ia datang seorang diri.
Sambil makan kami membahas banyak hal, suamiku memang pandai mencairkan suasana, ia terbiasa berbicara dgn banyak orang dan berbagai kalangan, menjadikan wawasannya sangat luas, termasuk mengenai pertanian, Zen bercerita kalau ia memiliki beberapa hektar perkebunan kakao, mereka pun membahasnya dgn seru.
Terjalinlah hubungan yg akrab antara keluargaku dan Zen, bahkan Zen berjanji akan membalas jamuan ini di kebunnya suatu saat nanti, ia bercerita kalau pemandangan dari pondoknya cukup indah dgn suasana yg sejuk dan damai.
Tibalah hari di mana Zen mengundang kami ke perkebunan miliknya, namun mas Gea, suamiku, menyuruhku datang seorang diri, ia menyuruhku menyampaikan alasan kalau ia terpaksa terlambat utk hadir gara2 ada urusan mendadak di pekerjaannya, padahal mas Gea sengaja agar kami bisa berduaan saja.
Mas gea ditemani mas Rafa mengantarku sampai di sebrang jalan depan rumahnya Zen, setelah itu mereka langsung cabut, katanya mereka ingin bulan madu selama beberapa hari di bali.
Setelah bertemu Zen, aku pun menjelaskan prihal ketidak hadiran suamiku dan meminta maaf, meski awalnya ia terlihat kecewa, namun di sisi lain sepertinya Zen berusaha menyembunyikan rasa bahagianya krn akan punya kesempatan berduaan saja denganku.
Tibalah kami di kebun milik Zen, di pondok itu kami ditemani juga oleh pak Anwar dan istrinya, mereka memang tinggal di pondok yg lumayan gede ini, merekalah yg bertugas menjaga dan membantu Zen merawat perkebunannya.
"Sebenarnya aku hawatir suami kamu tidak akan sempat ke sini, tapi gk apa2 deh, aku maklum jika ia memiliki banyak pekerjaan.."
"Sorry bgt ya Zen, tapi jika memungkinkan, mas Gea bakal bergegas menyusul kemari setelah urusannya selesai kok. Ngomong2 kamu benar juga, di sini terasa damai banget... udaranya sejuk.. pemandangannya juga bagus banget."
Zen hanya terpaku memandangiku, membuatku mulai salah tingkah, kami sempat berpandangan sesaat, membuat suasana menjadi canggung.
"Gak nyangka ya, kita bertemu lg seperti ini.." Zen berusaha membuka percakapan yg membuatku malah merenungkan masa lalu kami.
"Kamu mau dengar sesuatu yg lucu gak..?" Tanyaku berusaha mencairkan suasana.
"Sesuatu yg lucu.. apa..??"
"Sebenarnya... aku sudah nikah dua kali lho.."
"ah, masa sih, gak mungkin..."
"Kamu ingat Reza kan?"
"Reza,, ya... sahabat masa kecil kamu itu kan!?"
"Dia itu suami pertama aku.. "
"Oh ya, lantas kenapa kalian cerai?! Maksudku, kamu harusnya bakal nyaman bgt sama dia kan..!?"
"Reza meninggal di usia pernikahan kami yg belum genap 1 tahun Zen,, kecelakaan.."
"Oh, aku turut berduka.."
"Ah, sudahlah, aku sudah melupaknnya, aku pikir dia pasti sudah bahagia di sana."
"Ya, lagi pula kamu sudah menikah lg..." Suara Zen terdengar sedikit bergetar.
"Oh iya,, gimana kalo kamu ajak aku keliling perkebunan ini..?"
"Ide bagus, kebetulan kita punya pemandangan air terjun gak jauh dari sini..!"
"Oh ya, aku mau bgt lihat air terjun!"
"Ayo deh kalau gitu, tp kamu harus pakai sepatu boot dulu, beberapa area cukup licin dan berlumpur.."
Setelah mngenakan sepatu khusus yg disediakan pak Anwar, kami pun melakukan penjelajahan berdua.
Setelah melalui sedikit perjuangan, sampailah kami di lokasi air terjun, hasilnya sangat tidak mengecewakan, benar2 sebuah air terjun yg megah menjulang tinggi, genangan air di bawahnya pun tampak sangat jernih, dikelilingi oleh alam yg masih liar, belum ditumbuhi oleh pepohonan perkebunan.
suasana kala itu masih belum terlalu siang, namun langit cukup cerah, udara terasa hangat, rasanya air akan terasa sangat nikmat utk diselami, meskipun aku berstatus istri orang, namun bukan hal yg asing lg bagiku berenang dihadapannya, kami pernah bersama dulu, melewati banyak hal berdua, dan ia juga tau kalau air terjun merupakan salah satu hal favoritku, entah mengapa aku suka saja melihat air yg beratnya pastilah berjuta2 ton itu terjun bebas dari ketinggian, seolah2 ikut menghempaskan seluruh beban berat kehidupan yg ditanggung oleh orang yg melihatnya.
Sambil berendam menikmati sejuknya air pegunungan yg masih liar, terlintas di benakku dulu kami pernah berwisata ke pegunungan seperti ini, bersama sepasang kekasih lainnya yg merupakan teman sekolah kami juga, Brian yg merupakan teman sekelas Zen, dan Dita yg sebenarnya adalah kakak kelas kami, beruntung buat mereka yg akhirnya kini telah menjadi sepasang suami istri, dan yg paling membekas di ingatanku adalah, Zen begitu mesum terhadapku di bawah salah satu cucuran air terjun yg tak terlalu deras, dan ah... aku tak kuasa mengingatnya lebih dalam.
"Ternyata kamu masih sangat suka dgn air terjun.." Zen membuyarkan lamunanku.
"Eh, eng, ya.. sepertinya."
Jantungku mendadak berdebar keras melihat tatapan mata Zen, seolah ada cinta yg kian membara dari sorotan matanya. Aku semakin gugup ketika Zen mulai menghampiriku, namun tubuhku seakan tak mau berpaling, lidahku pun tak dapat berkata, dan dalam sekejap saja Zen sudah mendekap tubuhku, mencium bibirku dan meraba payudaraku, seperti dulu.
Ya, persisi seperti dulu, Zen cukup liar bagiku yg masih seorang gadis polos kala itu, sambil mencumbuku ia dgn seenaknya melepas baju dan bra ku, sikapnya yg sedikit memaksa dan terkesan sedikit buas membuat aku seakan tak berdaya utk menolak, anehnya aku terangsang dengan perlakuannya dan merelakan ia berbuat sesukanya, jadilah aku bertelanjang dada di sebuah alam liar, tempat dimana tak seharusnya seorang gadis melakukannya, dan yg lebih parah lg adalah ketika Zen meutar balik tubuhku lalu memelukku dari belakang sambil mencumbui leherku, aku melihat kalau kedua teman kami itu ternyata sudah berada tak jauh dari hadapan kami, menyaksikan aksi kami sedari tadi, sudah bisa dipastikan kalau Brian dapat dengan leluasa memperhatikan payudara besarku yg bergelantungan bebas, aku malu, tapi aku sudah tak peduli, cumbuan Zen di leherku kala itu begitu geli dan nikmat, dan ternyata membiarkan kulit putih polosku terekspos hingga sepinggang dengan bebas di depan orang lain juga terasa nikmat.
Brian merasa tertantang dgn aksi kami, meski ada sedikit perlawanan dari Dita, namun melihat aku yg sudah terhanyut dgn suasana dan keenakan, Dita pun akhirnya rela menampilkan tubuhnya hingga sepinggang pula. Ya, kedua pria nakal ini berhasil menelanjangi kami dan saling menunjukkan payudara pacar mereka masing2, saat itu pulalah aku dan Dita harus mengucapkan selamat tinggal utk selama2nya bagi keperawanan kami.