Bab I

3 1 0
                                    

Perih di hati Sunny kian besar, saat mengamati bunga-bunga sakura yang bermekaran. Padahal, warna pinknya yang mulai mencolok begitu memesona. Burung merpati yang bertengger di dahannya turut menikmati keindahan.
"Usiamu begitu singkat, lalu apa ... kau juga begitu menyukaiku seperti aku menyukaimu dulu? Sampai-sampai aku harus bernasib sama sepertimu?" Sunny bicara pada bunga-bunga di hadapannya. Ia pun segera meninggalkan sakura-sakura yang menyambutnya itu, sebelum memasuki gerbang sekolah.
Bagi Sunny, suasana musim semi di Tokyo berbeda di tahun ini. Untuk yang pertama kali, ia tidak lagi menanti-nanti bunga sakura bermekaran. Padahal, musim hanami begitu ditunggu-tunggu warga Jepang. Para wisatawan mancanegara bahkan berbondong-bondong datang ke negeri itu, walaupun harga tiket menuju Jepang berlipat-lipat kali lebih mahal dari hari biasa.
Seorang gadis dengan tinggi badan 168 cm, membuat cemas para murid. Ia tengah melewati lapangan sekolah. Rambutnya yang ikal berwarna brown, sekilas memantulkan cahaya. Di balik bulu mata lentiknya, ia memiliki mata yang sipit. Suasana sekolah tiba-tiba menjadi tegang karena kedatangan si gadis. Namun, pemilik nama Ozora Sunny itu sudah terbiasa dengan situasi tersebut. Selalu demikian, setiap kali Sunny tiba di sekolah. Apalagi, sudah lebih dari dua minggu sang gadis tidak datang untuk mengikuti pelajaran.
"Berhenti kau, Mayat hidup!" Seorang pemuda menarik tasnya dari belakang.
Lontaran yang ditujukan kepada Sunny kembali memekik telinga. Ia enggan membalikkan badan. Pandangannya seketika terasa kosong. Namun, gadis itu berusaha tegar. Dirinya tak mau lagi menghadiahkan air mata, untuk pemuda yang menghinanya tadi. Tangan sang gadis mengepal geram. Bibir tipisnya ingin melontarkan umpatan.
Pemuda yang menjuluki Sunny kini berada di hadapannya.
"Silakan hina dan caci maki aku. Akan tetapi, jangan menghalangi jalanku!" ucap Sunny tegas.
"Kau kira ini sekolah ayahmu? Sudah berapa abad kau berkeliaran di luar sana dan mengabaikan banyak pelajaran di tempat ini!" hardik pemuda itu.
"Kau peduli kepadaku?" ejek Sunny.
"Apa? Hah!"
Jimy Wolf Chrief, nama pemuda itu. Ia menertawakan celetukan Sunny, seraya memalingkan wajah sesaat.
"Apa yang akan kau dapat dengan menindas seorang gadis?" Nisimura datang membela gadis itu.
"Beraninya kau!" Jimy mencebik.
"Salah besar kalau kau menganggap semua orang takut padamu!" Nisimura mengibas tangan yang mencengkram kerah bajunya.
"Ayo, Nisimura!" ajak Sunny.
"Suatu saat tidak akan lagi ada murid miskin sepertimu di sini!" ancam Jimy. Ia mengayunkan kakinya ke arah dua remaja yang pergi darinya.
Sosok Jimy selalu mencuri perhatian. Terutama saat dirinya semena-mena menindas murid di sekolah itu.  Padahal, ia seorang siswa yang berprestasi. Namun, pemuda itu tak kunjung menghindari kebiasaan buruknya tersebut.
"Seharusnya ada drama seperti biasanya," celetuk salah satu siswa yang menyaksikan keributan dari lantai dua.
"Kau lihat? Sepertinya Jimy menyesal setelah menindas Sunny hari ini?"
"Bukan itu. Dia gagal membuat Sunny San menangis!"
Banyak murid yang menyaksikan penindasan Jimy. Namun, kejadian tadi terasa berlalu begitu cepat. Mereka tidak suka tindakan putra pemilik sekolah tersebut. Sebab, siapa pun bisa menjadi korban kegarangan pemuda itu. Akan tetapi, seperti ada yang berbeda dari alur yang biasa mereka saksikan. Yakni, kemenangan si penindas.
Biasanya, paling tidak mereka melihat para korban Jimy berderai air mata. Sebagian dari mereka, bahkan bertekuk lutut demi terbebas dari pemuda itu. Namun, kini ketegaran Sunny cukup mengejutkan mereka.
Chrief School, sebuah sekolah menengah ke atas itu milik Tuan Wolf Chrief. Didirikan pada tahun 2060, sekolah tersebut berhasil mencetak banyak generasi brilian dalam lima belas tahun terakhir. Murid-murid Chrief School yang berprestasi sudah diperebutkan banyak universitas ternama, baik di dalam maupun luar negeri. Jimy pun termasuk dalam jajaran siswa brilian Chrief School, terlepas dari sosoknya yang kontroversial.
Jimy Wolf Chrief, pemuda berusia delapan belas tahun itu dihampiri oleh sahabatnya. Ia merasa dipermalukan oleh Sunny, karena berani melawannya. Pandangan pemuda itu mengedar mengamati orang-orang yang memperhatikan lelaki tersebut.
"Dari mana Mayat hidup itu mendapatkan kekuatan untuk melawanku! Apa dia sudah bosan di sekolah ini!" Matanya kian menajam, menahan amarah.
"Di mana amarah serigala yang kau makan? Kenapa kau tidak menyiksanya lebih keras lagi?" ejek sahabatnya sambil membuntuti Jimy.
"Mungkin aku harus memakan dagingmu agar lebih kejam!" hardik Jimy membalikkan badan.
Wajah polos Jimy berbanding terbalik dengan perangai bengisnya. Padahal, paras tampan pemuda itu begitu dielu-elukan para siswi di sekolahnya. Namun, siapa yang berani mengungkapkan kekagumannya kepada lelaki tersebut?
Tidak lagi terhitung berapa banyak Jimy melukai hati Sunny.
Suatu ketika gadis tersebut baru tiba di sekolah. Tak ada seseorang yang bersamanya kala itu.
Sunny mengambil sepatu dari loker. Ia hendak mengganti sepatu luar dengan sepatu dalam. Gadis itu sedikit terkejut, saat seseorang tiba-tiba merampas sepatunya.
"Kau akan terlempar jauh dari sini seperti sepatu itu!" ancam Jimy, setelah melempar alas kaki tadi.
Pemuda itu bersedekap seraya menyadarkan bahu kanannya pada loker. Ia menyeringai girang, melihat tatapan terluka gadis itu.
Sunny tertunduk gemetar, kemudian beranjak dari Jimy untuk mengambil sepatunya.
Namun, seseorang memungutnya lebih dulu. Haruna, namanya. Ia salah satu teman sekelas Sunny dan Jimy. Bibirnya tersenyum licik seraya menatap pemuda yang berdiri di depan loker.
"Kau sangat membutuhkan ini?" tanya Haruna.
"Aku sangat berterima kasih kalau kau memberikannya kepadaku," bujuk Sunny. Hatinya begitu lelah menghadapi perlakuan Jimy. Dirinya malah berhadapan dengan satu orang lagi.
Kejadian itu pun berakhir dengan tangisan Sunny.
***
"Kau tahu, Sunny San? Aku hampir terkencing tadi," ungkap Nisimura seraya berbisik.
"Apa? Lain kali ... pakai rok saja kalau kau tidak sanggup menghadapi serigala itu!" ejek Sunny menahan senyuman. Ia nyaris terkekeh mendengar penuturan sahabatnya.
"Lagi pula, apa gunanya aku kalau membiarkanmu tadi? Bukankah aku sangat keren?"
"Tanya dirimu sendiri! Kau mendadak bernyali karena aku berani menghardiknya bukan?"
"Lalu kekuatan apa yang membuat level keberanianmu merangkak naik?"
Sunny tampak merenung, lalu berkata, "Akhir-akhir ini ... tidak ada lagi yang kutakutkan kecuali kematian."
Nisimura terhenyak mendengar pernyataan Sunny. Ia begitu mengerti apa yang membuat gadis itu berkata demikian. Pemuda tersebut bahkan dilanda kesedihan seketika. Tak mau kepedihannya diketahui sang gadis, ia segera menuju ke tempat duduknya.
Pelajaran berlangsung seperti biasa. Guru mata pelajaran Biologi berdiri menjelaskan materi selama lima puluh menit. Tidak ada tempat duduk untuk seorang guru di sekolah.
Jimy yang duduk di barisan lebih depan dari Sunny sesekali menoleh ke belakang, mengamati gadis itu. Ia masih bertanya-tanya akan keberanian gadis tersebut.
"Jimy, apa perbedaan sel hewan dengan sel tumbuhan?"
"Aku adalah bagian sel intelejen Mega Zone," celetuk Jimy sekenanya. Tatapan pemuda itu begitu dingin. Ia beranjak meninggalkan kelas tanpa pamit.

Ya Sahirol QolbiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang