Bab III

2 1 0
                                    

Jimy berjalan menuju ruang guru.   Amarah Jimy meledak. Ia hendak menggeladah meja wali kelasnya. Pemuda itu tak terima akan bungkamnya para guru mengenai penyakit Sunny. Setelah dirinya bertindak begitu jauh menyakiti Sunny dengan kekerasan verbal, bagaimana bisa tidak ada seorang pun yang memperingatkannya.

"Tidakkah kalian tahu tentang penyakit Sunny? Kalian membiarkan siswi lemah seperti Sunny menderita begitu lama!" Hardik Jimy di ambang pintu.

Semua guru terkesiap dan tertuju kepada orang yang sama. Mereka cepat-cepat memalingkan wajah. Sebagian dari mereka bahkan menunduk. Mereka semua tidak dapat berkutik.
Toyama pun kesulitan mengendalikan pemuda itu.

"Ini semua salahmu! Untuk apa kau melempar semua itu kepada orang lain!" cegah Toyama. Pemuda itu menarik Jimy ke luar.

Jimy kembali masuk ke ruang tersebut. Ia mengacak-acak berkas di atas meja wali kelasnya. Pemuda itu juga menggeledah laci pada meja tersebut. Dirinya pun terperangah. Jimy menemukan sebuah amplop, berisikan surat keterangan dokter tentang riwayat penyakit Sunny.

"Apa yang telah kulakukan selama ini?" Jimy merundukkan kepada di atas meja.

Ia meremas-remas kertas yang ditemukannya. Tadinya Jimy berharap bahwa apa yang didengarnya dari Toyama tidak benar. Namun, ternyata apa yang dikatakan sahabatnya itu adalah kebenaran.

"Ah!" Jimy menghampiri Tuan Tanaka yang tidak lain adalah wali kelasnya.

"Ada apa Jimy? Sekarang kau ingin menghardikku?" kata Tuan Tanaka yang mengkhawatirkan dirinya sendiri.

Jimy mencekal kerah baju wali kelasnya. Ia sangat ingin menghajar Tuan Tanaka. Pemuda itu tidak terima akan tindakan sang wali kelas yang menyimpan informasi yang sangat berharga itu.

"Semua ini atas permintaan Sunny," terang Tua Tanaka.

Jimy melepaskan cekalannya dari Tuan Tanaka. Ia mengerjapkan mata beberapa kali. Amarahnya terselubung perih, turut merasa iba kepada Sunny.

"Aku merasakan sakit tanpa mendengar hinaan, sedangkan dirinya?" Tukasnya sesal seraya melempar kertas yang diremasnya ke lantai.

***

Jimy menunggu-nunggu kedatangan Sunny di sekolah. Hari pertama untuk berbaik hati di tempat tersebut bagi pemuda itu. Sang gadis kini menjadi satu-satunya yang ia perhatikan. Jantung Jimy berdebar-debar karena dihantui rasa bersalah kepadanya.

"Dia datang," gumam Jimy berpura-pura tidak melihat saat Sunny melewati bangkunya.

Sunny tampak tak acuh. Dia tidak punya alasan apa pun untuk menyapa pemuda itu. Apalagi, kata maaf tidak pernah terucap dari mulut Jimy. Ia bersikap biasa saja. Tadi malam juga tidak ada yang spesial menurutnya.

"Ah, dia melupakan pertemuan tadi malam?" Jimy mendengkus kesal.

"Bersabarlah sedikit, dia sudah bersabar selama setahun menghadapimu," tegur Toyama.

"Kau kira aku sedang merayu seorang wanita untuk kupacari?"

"Lalu apa? Kurasa kau sudah tertarik dan baru menyadarinya," ejek Toyama.

Kebrutalan Jimy tampak. Ia menjambak rambut Toyama. Namun, dihadapi dengan tawa renyah dari kawannya.

"Aku benar-benar belum paham mengenai materi ini," kata Nisimura yang seketika duduk di sisi Sunny.

"Mungkin kau akan paham kalau ibumu mengancammu dengan spatulanya!" ejek Sunny mengeluarkan buku mata pelajaran yang sama dengan Nisimura.

Jimy yang duduk di paling depan memutar lehernya, mengamati Sunny dan Nisimura. Ia tahu mereka berdua seperti angka sepuluh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 04, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ya Sahirol QolbiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang