Bab II

2 1 0
                                    

Ruang tunggu Dokter Laureth digaduhkan dengan suara batuk Jimy. Apalagi, pemuda itu tidak dapat mengendalikan amarahnya. Setelah satu minggu yang lalu dirinya divonis mengidap kanker paru-paru, pemuda itu tidak begitu semena-mena lagi kepada yang lemah. Jimy lebih banyak menyendiri akhir-akhir ini. Namun, Jimy tetaplah Jimy yang temperamental.

"Aku sudah tidak tahan lagi! Kapan giliranku, Suster?" Jimy berteriak-teriak di ruang tunggu seorang dokter spesialis kanker.

"Jimy, tenanglah sedikit. Kau akan segera diobati. Dan aku akan ada untukmu. Kau dengar?" Toyama menenangkan Jimy, seraya mengelus punggung kawannya itu.

"Kau tidak tahu? Ini sangat melelahkan dan menyakitkan!" Jimy menahan dada, meredakan rasa sesak napas yang ia derita saat ini.

Pemuda bengis itu juga diserang batuk yang tak kunjung mereda.

Lima orang yang berada di sekitarnya menyabar-nyabarkan diri. Mereka sesekali melirik kepada kedua pemuda itu. Namun, tidak ada gunanya. Sebab, Jimy tetap saja berteriak jika ia mau.

"Kalau kau tidak menyembunyikan semua ini dari ayahmu, kau tidak perlu susah payah seperti seorang rakyat jelata."

Jimy tampak lemas menyandar pada sofa. Ia memikirkan perintah ayahnya. Pemuda itu akan menjalani tes kesehatan sebelum memenuhi ambisi sang ayah. Bulan depan pemuda tersebut harus berada di Qatar untuk melakukan misi rahasia, bersama beberapa orang yang ia sendiri belum mengenalnya.

"Kalau kau punya keinginan sepertiku, kau tidak akan mempedulikan apa pun."

"Meskipun berupa kematian?"

"Meskipun." Mata Jimy memerah, hampir menitikkan air mata. Ia memandang ke arah Toyama sesaat, kemudian berpaling.

"Akhirnya ... tidak ada kebisingan lagi di ruangan ini," celetuk seorang wanita paruh baya.

Ia melempar sapu tangan yang ternodai bercak darah. Saat Jimy mengalami batuk tadi, pemuda itu mengeluarkan darah dari mulutnya. Semua terasa begitu rumit bagi laki-laki berusia sembilan belas tahun tersebut.

Jimy sangat ingin membuat ayahnya bangga. Akan tetapi, penyakit yang dideritanya menjadi penghalang besar saat ini.

"Ingat, jangan melanggar apa pun kali ini!"

"Bukankah itu Sunny?" terka Toyama. Pemuda itu menepuk-nepuk pundak Jimy.

"Mayat hidup? Apa yang dia lakukan di sini?"

Jimy mengamati gadis yang baru keluar dari ruang Dokter Laureth. Ia tertegun sejenak, kemudian membuntuti Sunny. Baru beberapa langkah, dirinya tak tahan dengan rasa sakit yang mendera.

"Sunny menderita Leukemia." Toyama menghampiri. Ia baru saja memaksa

"Apa karena itu, wajahnya jadi sering terlihat pucat?"

"Yang jelas, julukan Mayat hidup untuknya sangatlah pantas," sindir Toyama.

Jimy mencebik. "Cukup! Untuk kali ini aku menyesal sudah menyakitinya." Jimy menyandar pada dinding. Ia meremas kepalanya dengan penuh rasa sesal.

"Lalu untuk apa kau menghardiknya selama ini?" cecar Toyama. Ia turut merasa bersalah karena sering mendampingi Jimy untuk menindas Sunny.

"Aku tidak suka orang lemah. Aku benci kelemahan," sahut Jimy.

"Lalu sekarang kelemahan itu ada padamu?" Toyama menunjuk ke dada Jimy.

Jimy memejamkan mata sesaat, merenungi perkataan sahabatnya. Apa yang dilakukannya kepada Sunny lebih dari keterlaluan.

***

"Leukositmu masih tinggi. Kau harus menghentikan kegemaranmu memakan daging mentah. Yakinlah bahwa kau akan sembuh. Buang bayang-bayang kematian itu." Sunny menyeka air mata. Ia sedang mengingat-ingat perkataan dokter ankologi yang didatanginya. Ia menyaksikan wajah gusar sang dokter yang tengah membandingkan hasil pemeriksaan medis Sunny.

Gadis itu juga akan menjalani pengobatan kemoterapi. Sebab, dari hasil pemeriksaan penyakit yang diderita Sunny semakin serius.

Sunny berjalan seorang diri di tepi sungai Meguro. Di sini tempat jalan-jalan yang paling tenang. Banyak kenangan yang membawanya pada ingatan satu tahun silam. Ia begitu berbahagia bersama sang ibu asuh yang sangat menyayanginya. Namun, wanita itu telah pergi untuk selama-lamanya. Kini gadis tersebut tinggal bersama sang nenek. Akan tetapi, Sunny tidak begitu nyaman tinggal dengan neneknya, Nyonya Zoya Ozora. Karakter sang nenek yang berbanding terbalik dengan ibu asuhnya dulu, membuat sang gadis tidak begitu suka dengannya.

"Nona, apa Anda belum ingin pulang? Nyonya besar sudah menghubungiku." Seorang pria berjas hitam menghampiri.

"Aku akan pulang jika aku mau," sahut Sunny yang tengah terduduk. Pandangannya seakan-akan turut tenggelam pada kedalaman sungai Meguro.

Di pangkuannya, Roof si kucing kesayangan gadis itu terlelap. Ia menjadi teman setia tuannya. Bulu-bulunya berwarna putih dan sangat tebal.

Setiap kali gadis itu menyentuhnya, ia seakan-akan mendapat ketenangan. Padahal, ia tidak sedang melakukan meditasi.

Sunny menghabiskan waktu di tepi sungai Meguro, hingga tanpa terasa langit sudah gelap. Bintang-bintang menghiasi naungan bumi itu. Para pengunjung selain dirinya datang dan pergi menikmati keindahan sakura.

"Shidarezakura, beberapa hari lagi kau akan berguguran. Kenapa kau begitu singkat membahagiakan orang-orang?" Sunny bicara pada pohon-pohon sakura yang tumbuh menghiasi aliran sungai Meguro.

Sunny menyebutkan salah satu jenis sakura yang rantingnya merunduk. Sakura tersebut memiliki mahkota paling besar dibandingkan dengan jenis sakura yang lain. Lagi-lagi ia mempertanyakan usia sakura yang hanya satu minggu bermekaran. Sunny masih saja menyamakan usianya yang terasa tidak lama lagi, dengan usia mekarnya bunga sakura.

Dari tepi jalan, Jimy turut mengawasi gadis itu dari dalam mobil. Berjuta kesalahan masih disesalinya. Ia berencana untuk meminta maaf kepada Sunny.

"Tidak perlu sampai seperti ini. Kita akan bertemu dengannya di kelas besok," bujuk Toyama mengajaknya pulang.

"Kau tau? Orang-orang seperti kami bisa mati kapan saja. Kalau penyesalanku hanya sebatas di mulut, maka aku tidak melakukan hal ini." Jimy malah memilih keluar dari mobil.

"Akan kubongkar semua ini kepada Paman Wolf!" ancam Toyama. Ia begitu mengkhawatirkan kawannya. Pemuda itu tahu, seharusnya Jimy tidak di sini sekarang.

Jimy mengabaikan teriakan kawannya. Ia menuruni tangga menuju jalanan tepi sungai. Pemuda itu menghela napas pelan, menormalkan jantungnya yang berdegup kencang. Tak dapat dipungkiri, pemuda tersebut begitu gugup, karena khawatir Sunny menolak keberadaannya di tempat itu.

"Malam-malam begini, tidak baik untuk kesehatanmu." Jimy berdiri di belakang kursi yang diduduki gadis itu.

Sunny terkesiap. Gadis itu melihat wajah Jimy di bawah naungan pohon sakura. Ia terheran dengan keberadaan pemuda itu. Sunny bahkan selalu mendengar teriakan  pemuda tersebut saat bicara kepadanya.

"Sejak kapan?"

"Apa?" 

"Sejak kapan kau bicara baik-baik dengan Mayat hidup?" Sunny bangkit dari duduknya.

"Hah! Sejak saat ini, aku ingin berbaik hati padamu." Jimy menundukkan pandangan sesaat, merasa bersalah.

Sunny membenahi tali tasnya. Mood-nya kian memburuk dengan kehadiran pemuda itu. Keberadaan Jimy membuat gadis itu ingin pulang. Padahal, supirnya sejak tadi membujuk sang gadis untuk segera pulang.

"Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dengan berbaik hati kepada gadis lemah sepertiku." Sunny meninggalkan Jimy yang tengah tertegun.

Jimy tertegun menyaksikan Sunny menaiki tangga, beranjak darinya. Ia melihat gadis itu memasuki mobil bersama kucing anggoranya.

Ya Sahirol QolbiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang