BAB SATU

620 72 2
                                    

Lantas, jika bukan atas nama cinta,
buat apa dua anak Adam saling memberikan harapan?

***

SEORANG PEREMPUAN dengan rambut panjang sepunggung tampak begitu enerjik menuju kafe di perempatan jalan—pusat dari segala arah menuju kesibukan duniawi. Di tangannya ada beberapa sampel undangan dengan beragam model dan warna. Tidak lupa sebuah paperbag dengan logo butik ternama. Begitu memasuki kafe dan mata tajamnya langsung menemukan sasaran, sebuah senyum langsung terbit.

"Udah lama? Maaf, ya, tadi aku ke percetakan dulu buat ambil sampel undangan."

Lelaki bersetelan formal—dengan jas yang sudah disampirkan ke punggung kursi itu—menatap perempuan di depannya dengan semangat yang berbanding terbalik. Tidak ada gairah sama sekali.

"Nih, coba kamu lihat-lihat dulu bagusnya yang mana. Kalau aku, sih, pengennya yang elegan kayak gini. Pas banget nanti nama Anwar dan Marcella ditulis di tengah-tengah. Atau—"

"Marcella."

Gerakan dan ucapan Marcella, perempuan yang sejak tadi begitu enerjik, seketika terhenti. "Ya, Bang?"

"Makan dulu." Anwar berdecak dalam hati, tidak tega harus langsung berkata pada intinya.

Marcella melirik makanan yang memang sudah dipesankan sebelumnya. Mengulum senyum, perempuan dua puluh lima tahun itu pun menarik piringnya untuk makan. "Bang Anwar udah duluan, ya?" tanyanya, melihat piring di sisi Anwar sudah kosong.

"Hm. Lapar banget tadi. Habis kunjungan lapangan."

Aura positif—mengingat persiapan pernikahan sudah delapan puluh persen—membuat Marcella tidak menyadari perubahan yang begitu signifikan pada diri Anwar. Terlebih dari cara lelaki itu menjawab. Dia fokus pada makanan hingga tandas, baru kembali mengeluarkan sampel undangan untuk dipilih Anwar.

"Yuk, menurut Bang Anwar bagusnya yang mana?"

Anwar melirik tiga sampel di atas meja, lalu mengusap wajah dengan gusar. Jantungnya diremas tangan tak kasat mata. Begitu menyakitkan harus memberikan pernyataan yang akan kembali mematahkan hati perempuan cantik di depannya. Namun, kesalahan yang sudah dia lakukan membuatnya harus segera mengatakannya. Meski berat dan sangat menyakitkan, dia mencoba merangkai kata sebaik mungkin.

"Kita berhenti bahas masalah pernikahan, ya?" pinta Anwar dengan suara pelan, namun berat.

Jantung Marcella mulai berulah. Ada degupan yang mulai terasa menyakitkan. Perasaannya mulai tidak enak. Kilasan akan batalnya pernikahan dua tahun lalu—dengan lelaki yang berbeda—mulai bermunculan. Lelaki di depannya tidak mungkin akan memberikan sakit yang sama, kan? Hatinya tidak akan kembali patah, kan? Seiring pertanyaan lain bermunculan di benaknya, gurat dan pandang Anwar sudah memberikan jawaban untuk semuanya.

"Kenapa?"

Melihat mata berkaca-kaca dan pipi yang sudah merah padam itu membuat Anwar semakin gusar. Tangan eksotis miliknya merangkum tangan mungil Marcella, memberikan usapan lembut yang terasa begitu dingin. Tatapan mereka bertemu dengan lekat, memberikan jawaban tanpa suara.

Marcella menarik tangan. Begitu berkedip, sepasang anak sungai langsung mengaliri pipi. "Kenapa, Bang?" ulangnya, kini dengan suara yang sudah sangat bergetar.

"Abang melakukan kesalahan—fatal. Kamu nggak akan bisa menerimanya."

"Apa?! Kesalahan apa yang udah Abang lakuin?!" Marcella geram, tidak ingin bertele-tele.

"Abang mengkhianati kepercayaan kamu. Abang tidur dengan perempuan lain di saat kamu sibuk menyiapkan pernikahan kita. Di saat kamu begadang membuat sketsa gaun pengantin, Abang justru begadang dengan perempuan lain. Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik, Marcella." Anwar ikut berkaca-kaca melihat Marcella yang kini tertunduk dengan bahu bergetar keras. Kafe yang mereka kunjungi pun makin ramai. Beberapa mata bahkan sudah melirik ingin tahu. "Marcella, Abang minta maaf. Jika rencana ini tetap kita lanjutkan, Abang nggak yakin akan tetap berlaku sama dengan bayang-bayang penyesalan yang terus memburu. Abang nggak mau makin menyakiti kamu."

HEARTLESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang