BAB DUA

428 72 11
                                    

Apakah cinta sebegitu serakahnya hingga membuat tali persaudaraan ikut putus?
Lantas, apa itu cinta?

***

Nawfal melempar remot televisi tepat ke kepala Arini. Belum pernah dia merasa semarah ini pada adik perempuannya. Bahu lelaki itu naik turun dengan deru napas memburu. Sementara kedua orang tua mereka terdiam di tempat duduk masing-masing.

"Tega kamu, Arini! Tega sekali kamu!" Nawfal berteriak, wajahnya merah padam dengan mata berkaca-kaca. "Salah apa Cece sama kamu, Arini?! Kenapa kamu tega sama Kakakmu sendiri?!"

Arini, perempuan dua puluh tiga tahun itu menggeleng. Denyutan bekas lemparan remot masih terasa jelas di kepalanya yang tertunduk dalam.

"Lebih kamu pergi dari sini. Kamu bukan lagi adikku. PERGI!!!"

"Abang...."

"Aku bukan Abangmu, Sialan!" Nawfal sudah menyeka air matanya yang menganak sungai. "Kalau kamu memang adikku, adik Cece, kamu nggak akan melakukan ini pada kami. Pada orang tuamu. Di mana otakmu, hah?!"

Arini meraung keras. Pening denyutan di kepala dan penolakan kedua orang tua serta saudaranya membuat dia hilang akal. Dia bersujud di depan Jonathan, namun ayahnya itu lekas berdiri dan meninggalkan mereka ke kamar. Disusul oleh Rindu tiga detik kemudian.

"Mama! Mama! Arini minta maaf, Ma! Mama!" Perempuan itu mengejar Rindu sambil terus meraung.

"Lepas, Arini! Mama malu punya anak kayak kamu. Begitu tega kamu pada Kakakmu sendiri. Cece selalu memberikan apa pun yang kamu minta padanya, tapi ini balasan yang kamu beri untuk dia." Rindu ikut meraung menekan-nekan dadanya. "Merebut calon suami Kakakmu dan hamil di luar nikah. Hebat sekali kamu mencoreng arang di wajah kami, Arini! Hebat sekali kamu!"

"Mama, Arini minta maaf. Arini cinta sama Bang Anwar, Ma. Kakak—"

"Bawa mati saja cintamu itu, Arini! Mati saja! Tolol kamu karena cinta!" Rindu mendorong Arini dengan sisa tenaga yang dia punya, lalu bergegas menaiki anak tangga.

Arini terduduk di lantai. Kepalanya semakin berdenyut, belum lagi perutnya sedikit keram. Suara Adrian minta digendong pada Nawfal terdengar samar. Disusul oleh derap menjauh dan bunyi pintu serta deru mesin mobil.

***

Nawfal mendatangi apartemen Marcella dengan cemas. Takut adiknya itu sudah mendapat kabar perihal Arini yang ternyata menjadi penyebab dari batalnya pernikahannya dengan Anwar bulan lalu. Marcella baru saja kembali tersenyum dan mau bersosialisasi pasca patah hati. Dengan datangnya berita ini, dia takut adiknya itu kembali terpuruk.

"Udah mau tidur, Dek?" tanya Nawfal begitu daun pintu bergerak terbuka.

"Belum kok, Bang. Ini malahan baru balik dari butik. Baru banget selesai mandi." Marcella menggendong Adrian yang mengulurkan tangan padanya. "Udah makan, Bang?"

Melihat reaksi dan cara Marcella menjawab, Nawfal yakin adiknya ini belum tahu perihal Arini dan Anwar. Maka dengan begitu dia segera mencairkan ekspresi kaku di wajahnya. "Kebetulan belum, nih. Kamu masak atau beli di luar?"

"Beli, sih. Nggak keburu kalau masak. Bentar lagi juga datang makanannya." Marcella mendudukkan Adrian di pangkuannya, lalu menyambar stoples camilan. "Aunty baru beli tadi siang, nih. Enak banget, lho."

"Aunty, tadi Papa lempar remot ke kepala Aunty Arini. Terus Aunty Arini nangis."

Nawfal meringis mendengar aduan Adrian. Dia padahal sudah mewanti-wanti agar bocah lima tahun itu tidak bercerita apa pun sesampainya mereka di sana. "Nggak sengaja, kok. Abang tadi refleks," kilahnya.

HEARTLESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang