Bab 2 PATRICIA

734 13 1
                                    

Wanita yang mengaku sebagai ayahku itu mengambil sebungkus rokok filter yang tergeletak diatas meja. Sebelum mengambil ia menawarkannya padaku namun aku segera menolak. Ia mengangkat kedua bahunya lalu menyalakan rokok yang terselip ditangannya dan menghisapnya perlahan.

"Aku sungguh tak menyangka kita akhirnya bisa bertemu," ucapnya membuka percakapan seraya menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. 

Dalam sekejap asapnya memenuhi ruangan.Aku menatap sosok feminin dihadapanku, mencoba mencari jejak kemaskulinan disana. Aku tak mendapati sedikitpun sisa kejantanan dari sosoknya, sosok yang telah membuat aku hadir ke dunia.Ia kembali menghisap rokoknya, asapnya menguar ke seluruh penjuru ruangan luas yang dipenuhi kemewahan ini

"Kenapa kamu terus menatapku?" tanyanya resah dan mulai gugup.Aku semakin jengah dengan situasi ini.

"Tentu kamu mengerti apa yang sedang aku pikirkan," tungkasku tajam.

Sosok yang mempunyai bulu mata lentik itu termangu sesaat namun kemudian tersenyum sinis.

"Aku tahu kamu kecewa dan aku harap kamu bisa memahami pilihanku ini."

"Apa kamu bilang, memahami?" Ganti aku yang tersenyum sinis padanya.

"Kemarin aku masih menganggap bahwa ayahku adalah sosok sempurna, lelaki yang sebenarnya lelaki. Tapi kini apa yang kudapati, sangat bertentangan dengan semua cerita yang selama ini kudengar dari ibu. Iya aku kecewa sangat kecewa malah."

Sosok cantik itu kemudian bangkit dari sofa menuju bar mini untuk mengambil sebotol brandy lalu ia tuangkan ke dalam gelas. Ia menawarkan gelas itu padaku, tentu saja aku menolak minuman haram itu. Tapi kemudian ia menyesap sendiri brandynya.

"Selama ini ibu selalu mengatakan bahwa ayahku adalah sosok lelaki sholih yang selalu menjalankan syariat secara benar," sindirku padanya.Ia kembali tersenyum masam.

"Kamu harus membiasakan diri dengan keadaanku ini."

Aku semakin jatuh dalam jurang kekecewaan saat mendengar pernyataannya. Dadaku semakin sesak oleh hantaman kesedihan. Aku semakin teringat pada ibuku, wanita mulia yang telah mengajarkan nilai-nilai moral dan agama, sangat berbeda jauh dengan sosok ada dihadapanku saat ini.

"Kamu tahu ini lelucon paling tidak lucu yang pernah aku dengar. Bagaimana mungkin dengan mudah kamu mengatakan aku harus membiasakan diri? Selama ini aku dibesarkan dengan kisah-kisah hebat tentang ayahku, tentang ayahku yang penyayang, ayahku yang sholih juga ayahku seorang yang bertanggung jawab......"

"Aku masih bertanggung jawab, sampai saat inipun aku masih mengirimi kalian uang!"

"Ibu tak pernah menyentuhnya sama sekali. Selama ini ibu membesarkan aku dengan jerih payahnya sendiri, ibu adalah sosok sederhana yang tak membutuhkan sedikitpun kekayaan darimu!" tungkasku sengit.

Sosok feminim itu langsung terdiam, matanya nampak mulai memerah.

"Aku kini mengerti kenapa selama ini ibu mengatakan bahwa ayahku telah tiada, karena memang kenyataannya seperti itu," imbuhku sembari menatapnya tajam.

"Kalau memang seperti itu lalu kenapa kamu mencariku, jika kamu menganggap aku telah mati?"

Aku enggan untuk menjawabnya, perdebatan ini sungguh menguras emosiku. Sisi batinku yang lain tak membenarkan sikap kerasku padanya. Bagaimanapun keadaannya kini, ia tetap ayahku meski sekarang aku tak tahu harus memanggilnya apa.

"Bagaimana kabar ibumu?" tanyanya sedikit melunak seraya kembali duduk dihadapanku.

"Apa kamu masih peduli?" sergahku sinis.Sosok cantik itu mendesah resah. Raut mukanya berubah sendu.

SEBUAH PENGAKUANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang