Sah!

12 1 0
                                    

-----------------------------------------------------------------

"Saya terima nikah dan kawinnya Widuri Mahestri binti Sapri dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang 10 juta rupiah dibayar tunai." Dengan lantang dan satu kali tarikan napas, mempelai pria mengucapkan kabul.

Pernikahan dalam adat tradisi Jawa memiliki aturan dan perhitungannya sendiri. Sebelum dua keluarga memutuskan untuk menyatukan dalam sebuah ikatan, harus melalui serangkaian pertimbangan. Salah satu di antaranya adalah arah rumah dari kedua mempelai.

Namun, hal ini tidak berlaku bagi Dewangga Putra dan Widuri Mahestri. Sejoli yang telah lama saling menautkan hati, akhirnya direstui dengan mengesampingkan tradisi. Meskipun beberapa hati harus dikorbankan demi pernikahan ini.

"Bagaimana saksi, sah?" Penghulu melempar pertanyaan pada kedua saksi yang duduk bersebelahan.

"Sah!" Suara dua orang saksi menggema di ruangan berukuran 3 x 4 meter itu. Widuri dan Dewa melaksanakan akad nikah di KUA, dengan dihadiri keluarga keduanya.

"Alhamdulillah." Pak Sapri mengucap syukur. 

Baru saja lelaki berusia 50 tahun itu melakukan ijab, menyerahkan tanggung jawab atas Widuri-putri tunggalnya kepada Dewa. Lelaki berbadan tinggi tegap, berkulit putih, yang dengan penuh percaya diri duduk berhadapan dan menjabat tangannya. Lelaki yang sempat ditolak lamarannya 2 tahun lalu karena sebuah tradisi.

Pak Sapri lalu menengadahkan kedua tangannya. Bersiap mengaminkan setiap bait doa yang dibacakan Penghulu.

"Alhamdulillah…" ucapan syukur itu juga terdengar bersahutan dari arah belakang kedua mempelai. Semua serentak tanpa aba-aba menengadahkan kedua tangan. Turut serta memberikan doa untuk kebahagiaan dan keberkahan kedua mempelai.

Semua yang hadir dalam akad nikah pagi itu sangat khidmat. Suasana haru terasa hingga menusuk kalbu. Widuri tak kuasa meneteskan air mata. Kedua tangannya bukannya untuk berdoa, malah sebagai wadah menampung tetesan air matanya.

Widuri menerima uluran tangan lelaki yang beberapa menit lalu telah sah menjadi suaminya. Menjabatnya dan mencium punggung tangannya sebagai wujud baktinya. Air matanya semakin deras saat suaminya mengusap ubun-ubunnya. Merapalkan doa untuk kebaikan mereka.

"Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih. Wa a’udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha ‘alaih."

Dalam hati Widuri mengaminkan. Melangitkan doa yang sama. Mengharapkan keberkahan dan perlindungan pada rumah tangganya. Mampu menjadi istri yang selalu setia mendampingi dan ikhlas melayani suaminya.

"Sambut Mas dengan senyuman, Dik," bisik Dewa sesaat setelah mencium keningnya. Widuri mendongak, menatap lekat mata suaminya. Lengkungan senyum ia sunggingkan.

Entah harus bagaimana lagi menggambarkan suasana haru dan bahagia saat itu. Atmosfernya begitu terasa dan menyentuh hati siapa saja yang menghadirinya.

Meskipun melangsungkan akad nikah dengan sederhana, namun penampilan Widuri bak putri raja. Dengan balutan gaun putih berpayet di tepiannya. Jilbab putih menjuntai menutupi dada dan mahkota kecil bertengger di atasnya. Dewa begitu terpesona melihat kecantikan Widuri yang dipoles dengan riasan natural di wajahnya.

Dewa yang juga mengenakan jas dan pakaian serba putih, menggenggam tangan Widuri berjalan menuju tempat dimana orang tuanya duduk. Menunduk bersimpuh memohon doa restu. Begitu pun dengan Widuri. Orang tua yang ada di hadapannya sekarang adalah orang tuanya juga. Harus ia hormati sebagaimana menghormati kedua orang tuanya sendiri.

WiduriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang