Perpisahan

5 1 0
                                    

Widuri mengamati satu per satu barang bawaan suaminya. Baju sudah tertata rapi di atas ranjang, siap menghuni koper yang sudah dibersihkan. Dengan teliti memastikan tidak ada barang yang tertinggal.

Widuri duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong. Ia sedang bergumul dengan pikiran-pikiran liar yang mulai menggelayuti. Teringat petuah dari ayahnya tempo hari.

-----------------------------------------------------------------

"Wid, tidak mudah menjadi seorang istri yang berjauhan dengan suami. Banyak aral melintang yang akan menghalangi. Kamu harus membangun jembatan kokoh agar mampu melewati," ucap sang ayah dari seberang telepon.

"Wiwid harus bagaimana, Yah?" tanyanya meminta saran dari sang ayah.

"Komunikasi dan kepercayaan, itu kuncinya. Apapun yang kamu rasakan dan sekecil apapun hal yang kamu lakukan, komunikasikan dan ceritakan pada suamimu. Dengan begitu, suamimu akan merasa kehadirannya sangat dibutuhkan. Kalian akan merasa seperti tak berjarak. Yang kedua adalah kepercayaan, ini adalah hal yang penting juga dalam sebuah hubungan. Bahkan untuk pasangan yang selalu berdekatan sekali pun juga membutuhkan ini sebagai landasannya. Berusaha saling percaya dan menjaga kepercayaan itu. Jangan pernah tergoda dengan silaunya lelaki lain yang mungkin lebih menggoda dari suamimu. Begitu pun saat memperlakukan suamimu, jangan mudah menaruh curiga. Laki-laki paling tidak suka jika setiap geraknya dibatasi dan dicurigai. Hargai setiap perjuangannya dalam mencari nafkah." Dengan panjang lebar Pak Sapri menasihati putri semata wayangnya.

"Insya Allah, Yah. Wiwid akan selalu ingat dan mengikuti nasihat Ayah. Doakan Wiwid, ya, Yah."

"Dan jangan sampai tertinggal salatnya, ya, Nak. Sekarang kamu adalah tanggung jawab suamimu. Kasian, kan, dia sudah banting tulang mencari nafkah, masih harus menanggung dosa karenamu yang lalai dalam ibadah."

Sejak dulu, ayahnya tak pernah lupa mengingatkannya untuk salat. Jika dulu nasihatnya sang ayah yang akan menanggung dosanya, kini sudah berganti menjadi suaminya. Ah, waktu begitu cepat berlalu. Rasanya baru kemarin menjadi anak kecil yang berlarian riang tanpa beban. Kini, ia  berubah menjadi wanita dewasa yang sudah berumah tangga.

"Hmm… Ayah, bagaimana dengan Ibu?" Dengan berat hati Widuri mengeluarkan pertanyaan. Sebahagia apapun yang ia rasakan sekarang, tetap saja masih menyisakan sejumput perih. Mengingat ibunya tak sepenuh hati merestui pernikahan ini.

"Nggak usah terlalu dipikirkan, Wid. Cepat atau lambat ibumu akan menerima semua ini dengan lapang dada."

"Tapi, Yah. Wiwid takut kekecewaan Ibu menjadi batu sandungan untuk rumah tangga kami."

Ketakutan Widuri bukan tanpa alasan. Bukankah impian semua orang adalah memiliki pernikahan yang sakinah, mawadah dan warahmah? Lantas, bagaimana semua bisa terwujud jika luka masih menganga di hati ibunya.

-----------------------------------------------------------------

"Mikirin apa, sih?" Widuri terperanjat. Mendapati Dewa sudah berada di sebelahnya.

"Nggak ada, Mas. Adik hanya ingat sama Ayah."

"Mas minta maaf, ya. Harus membawamu jauh dari Ayah dan Ibu."

"Mas kenapa minta maaf. Ini sudah menjadi kewajiban Adik, mengikuti kemanapun suami Adik pergi. Kan Ayah juga bilang, sekarang Adik adalah tanggung jawab Mas Dewa." Seulas senyum melengkung indah. Meneduhkan hati Dewa yang mulai bergemuruh menyimpan gelisah.

"Tapi sekarang malah Mas yang akan pergi ninggalin Adik. Mas nggak bertanggung jawab, ya. Baru dinikahi ditinggal pergi begitu saja. Dibiarkan sendirian hidup di kota orang." Dewa menunduk. Menyembunyikan resah dan rasa bersalah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 01, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

WiduriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang