#1. Panggil dia, Mara!

11 0 0
                                    

Terik matahari seolah membakar jiwa-jiwa yang sedang berlalu lalang dibawahnya. Cewek berpakaian serba hitam itu terus mengeluh tentang punggung tangannya yang akan gosong jika lampu lalu lintas tak juga berganti hijau.

"Sial, tau gini gak pake baju item gue," Umpatnya, matanya memperhatikan detik di ujung lampu lalu lintas, "Mana lama banget lagi ijonya nih lampu."

Cewek itu mengendarai motor beat hitam kesayangannya membelah jalanan ibukota yang ramai siang itu. Setelah menunggu lampu lalu lintas berganti hijau selama dua menit sembari sesekali mengumpat akhirnya dirinya sampai di sebuah toko buku.

Lonceng yang sengaja diletakkan di pintu berbunyi kala cewek itu membukanya. "Baru sampe lo?"

"Iya, gila hari ini panas banget asli, nambah item dah tangan gue." Mara, cewek itu membuka hoodie hitam yang dikenakannya menyampirkan di gantungan samping pintu khusus karyawan di toko itu. Mengibaskan sejenak rambut hitamnya sebelum ia gelung rapi.

"Lo sih datengnya telat, anjir, tadi ada si Vina sama cowoknya kesini." Dia Anya, teman Mara yang dengan menggebu menghampirinya.

"Ya, terus?"

"Mereka berantem dong diparkiran. tapi si Vina goblok sih, masa cowok sebaik Indra diputusin gitu aja."

"Ya, gak cocok kali sama selera dia." Mara menanggapi semampunya.

Jujur saja, dia tidak terlalu tertarik dengan kisah cinta teman-temannya.

Menurutnya apa yang di ceritakan mereka saat sesi curhat itu berlebihan.

Sampai nangis, sakit hati. Seperti tidak ada cowok lain saja.

Jangan salah paham, Mara hanya tidak mengerti kenapa sakit hati karena ditinggal pacar bisa sebegitu menyiksa mereka?

Mereka bilang 'Lo gak tau ra, gue tuh sayang sama dia tulus. Tapi gue di khianati. Brengsek tuh cowok.' Tapi apa? dua hari kemudian mereka ngedate seolah nggak terjadi apapun. Dasar aneh.

Mara tidak pernah tau apa rasanya dicintai atau mencintai. Ia sangat menutup hatinya jika itu berkaitan dengan pasangan. Bukan apa, dia hanya berpikir jika masalah cinta itu tidak begitu penting. Hanya membuang waktu.

Selama ini Mara hanya sibuk memikirkan bagaimana ia bisa lulus sekolah dengan nilai yang paling tidak bisa diatas rata-rata agar saat mencari kerja tidak dipersulit karena nilai yang pas-pas'an.

Mara sadar, kalau ekonomi keluarganya lebih penting dibanding dengan kisah cinta yang kata teman-temannya hanya ada sekali di masa remaja. Namun Mara tidak peduli. Hari-harinya disekolah dulu sangat datar. Tidak ada yang namanya mas crush dihidupnya. Bahkan sampai saat ini.

Amara adisti fitri, cewek dua puluh empat tahun itu sekarang bekerja sebagai crew store di sebuah toko buku kecil di tengah kota.

Jika pagi hingga sore di toko buku, maka sore hingga malam dia berada di coffee shop, bekerja sebagai barista.

Mara lebih banyak menghabiskan waktunya di dua tempat itu. Weekend pun Mara hanya melakukan meditasi sederhana di kosannya. Alias bengong lalu rebahan seharian.

Lalu di umurnya yang beranjak dewasa, pertanyaan menyebalkan seringkali didengarnya.

'Umur berapa? kapan nikah? kuliah dimana?'

Duh, apa nggak ada pertanyaan lain? kayak, 'Nomor rekeningnya berapa? sini di transfer.' Kata-kata itu sepertinya lebih baguskan? dapat pahala double lagi karena bersedekah kepada orang yang membutuhkan dan membuat orang lain bahagia. ketimbang melontarkan pertanyaan nggak penting.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 05, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AMARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang