Prolog

60 11 1
                                    

"Tuan Zeke, saya mohon tunggu dulu!"

Aku berteriak lantang pada senior pejuang yang kuhormati, Zeke Yeager. Beliau terkapar dalam wujud Beast Titannya, akibat bidikan dari senapan Jenderal Magath yang dengan fatal melukainya. Kugandeng tangan Falco dan menunjukan pada Tuan Zeke kalau adikku ada di sini.

"Falco, dia ... dia tak sengaja menelan cairan tulang belakang anda! Saya mohon dengan sangat, tolong jangan berteriak."

Suaraku terdengar lebih serak dari biasanya imbas membagi fokus antara berteriak dan mengambil napas dengan panik. Jarak dari rumah persembunyian kami tadi ke gerbang Shiganshina cukup jauh, ditambah dengan berpacunya kami untuk membujuk Tuan Zeke agar tidak berteriak. Sekali lagi aku mengambil napas panjang untuk bicara, berharap Tuan Zeke bisa mendengar suaraku dengan jelas.

"A-anda paham kan, Tuan Zeke? Saya mengambil peran untuk mewarisi Beast Titan agar keluarga saya tidak mati!"

Ya, itulah tanggung jawab yang harus aku emban. Sejak kecil aku memang ditakdirkan pada sesuatu yang tidak aku inginkan, menjadi monster setinggi belasan meter untuk menghancurkan musuh. Namun aku tak bisa menolaknya, karena ini satu-satunya cara untuk membersihkan nama keluarga Grice yang telah tercemar oleh pamanku sendiri.

"Kakak, lepaskan aku," kata Falco sambil mencoba meronta, seakan memintaku untuk melemahkan genggaman tanganku padanya.

Tak kugubris kata-kata adikku, dan tetap memandang Tuan Zeke untuk menyakinkannya agar tak berteriak.

"Sejujurnya, sebelum anda mengkhianati kami, saya tak pernah memahami jalan pikiran anda. Tapi saya yakin bahwa Tuan Zeke yang saya kenal bukanlah orang yang tega melibatkan anak kecil."

Argumen yang kuberikan tadi adalah yang paling masuk akal untukku saat ini. Aku masih ingat percakapan antara diriku dan Tuan Zeke kala kami bermain lempar-tangkap. Saat itu, kami banyak berdiskusi masalah peran dalam persaudaraan dan ungkapan kasih sayang. Beliau ... pasti paham dengan perasaanku sebagai seorang kakak.

Keringat dingin mulai menetes dari dahi dan membasahi wajahku. Beberapa tetesnya bahkan masuk ke dalam mataku, membuat perih indra penglihatanku untuk sementara. Tenangkan dirimu, Grice. Berupayalah terus dan jangan menyerah.

Kalau begitu, sepertinya aku harus memikirkan opsi lain. Jika aku tak bisa membujuk Tuan Zeke agar tidak berteriak, maka aku mungkin bisa membujuknya agar menunda niatnya. Sebuah solusi. Ya, itu dia. Aku bisa menawarkan solusi pada Tuan Zeke sebagai bahan pertimbangannya.

"Sa-saya tidak menyuruh anda untuk diam saja seperti ini dan mati! Saya hanya ingin agar anda menunggu sampai Falco berada di luar jangkauan efektif teriakannya!"

Aku memang sudah meminta Gabi untuk mengambil seekor kuda dan membawa Falco pergi secepatnya dari pulau iblis ini. Setidaknya aku punya rencana cadangan karena aku tahu kalau Tuan Zeke akan kepayahan menghadapi serangan dari pasukan Marley. Yang terpenting saat ini adalah keselamatan adikku dan Gabi, itulah alasan Marley melakukan serangan mendadak untuk membalas kejadian di Liberio.

"Setelah itu, anda bebas membunuh sebanyak mungkin. Marley dan Eldia bisa saling membunuh sesukanya. Namun tolong jangan libatkan adik saya!"

Beberapa detik kemudian, Gabi muncul di belakang kami dengan menunggangi kudanya. Kerja bagus! Kalau ini berhasil, Falco bisa selamat tanpa harus berubah menjadi titan karena teriakan Tuan Zeke. Aku menghitung mungkin butuh jarak sekitar 10 kilometer untuk menghindar dari jangkauannya. Dengan kuda, waktu efektif untuk mencapai jarak demikian mungkin hanya sepuluh menit.

"Falco!" teriak Gabi. "Cepat naik ke kuda!"

"Jangan mendekat dulu, Gabi!" kata Falco melarang gadis kecil itu untuk menghampiri kami.

Pelukan - Colt Grice & Falco GriceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang