"Hari ini kau semangat sekali, Falco."
Kulirik bocah berumur 12 tahun yang sedang berjalan di sampingku menuju ke markas unit Warrior. Pagi ini Falco seperti biasa akan kembali menjalani pemusatan latihan sepulang berperang beberapa hari yang lalu. Sebenarnya aku sangat menentang jika anak kecil sepertinya harus diterjunkan di medan perang yang penuh mayat dan orang terluka. Mengirim mereka pada pertempuran bukanlah hal yang pantas untuk dilakukan, tapi beginilah keputusan dari negara Marley. Aku tak punya kuasa untuk menyuarakan pendapatku.
"Hari ini ada penilaian untuk pertarungan jarak dekat. Aku harus melampaui Gabi."
Aku tak pernah melihat adikku berjalan dengan langkah yang penuh percaya diri seperti ini sebelumnya. Apa perang telah mengubah tekadnya menjadi sekuat baja? Atau ada sesuatu yang mendorongnya agar lebih termotivasi?
"Bagaimana denganmu, kak? Apa sakit kepalamu sudah hilang?" tanya Falco sambil melihat ke arahku.
"Tenang saja. Aku tak apa-apa."
"Kau sudah tahu kalau kau tak kuat menenggak alkohol berlebihan, tapi kenapa masih saja melakukannya, sih? Memalukan saja."
Aku tertawa lepas mendengar pendapat adikku. Saat berada di kereta tengah malam saat itu, entah kenapa aku tak bisa mengontrol diriku sendiri untuk merayakan kemenangan kami atas aliansi Timur-Tengah di Benteng Slava. Harus kuakui, toleransi tubuhku pada alkohol memang payah. Tapi kami bisa pulang dengan para pejuang dan kandidat pejuang tanpa menjadi korban adalah hal yang patut untuk dirayakan.
"Maaf, Falco. Selebrasi saat itu memang berlebihan. Tapi itu kulakukan karena aku senang kalau kau dan aku bisa selamat dan pulang ke rumah. Ya, kan?"
Falco hanya tersenyum dengan bibir yang setengah terangkat. Hmm, paling tidak kini dia sepertinya setuju dengan pendapatku.
Kami berjalan melewati sebuah pasar di zona pengasingan orang Eldia. Mengenakan ban kuning sebagai tanda kalau kami berdua adalah kandidat pejuang yang punya peluang mewarisi titan terhormat, membuat aku dan Falco seketika menjadi pusat perhatian bagi orang penghuni pasar ini.
"Wah, lihat siapa yang datang! Ini Colt yang akan mewarisi Beast Titan. Selamat pagi, pejuang kami," ujar seorang tua penjual semangka.
"Selamat pagi juga, pak."
"Kau akan jadi pejuang yang kami banggakan, Colt. Hancurkan iblis Paradis untuk kami," ucap seorang tukang pos yang mengangkat topinya untukku.
"Terima kasih, pak."
"Hei, Colt. Kau berjalan sendirian saja? Mana adikmu? Biasanya kau pergi ke markas unit Warrior dengannya, kan?" kata seorang ibu penjual anggur.
"Eh?"
Aku melihat ke samping kiriku dan melihat sosok adikku sudah menghilang. Hei, ke mana Falco? Aku tak menyadari kalau dia telah berpisah dariku karena aku terlalu sibuk melayani pujian warga Eldia.
"Aku di sini, kak."
Falco ternyata muncul secara tiba-tiba dari arah kananku. Aku menoleh padanya dan melihat tangannya menggenggam dua bungkus roti lapis.
"Kau dari mana saja?" tanyaku cemas.
"Aku tadi membeli roti lapis untuk penjaga gerbang di markas unit Warrior. Mereka sudah berlaku baik pada kami para kandidat pejuang."
Astaga, aku tak habis pikir dengan jawaban Falco. Aku paham kalau adikku memang terlahir sebagai anak yang murah hati. Tapi, bahkan memberikan hal baik untuk penjaga gerbang yang notabene adalah orang Marley merupakan hal yang sedikit naif.
"Huh, baiklah. Aku tak ingin menceramahimu tentang hal yang benar untuk dilakukan. Tapi lain kali, katakan padaku kalau kau ingin membelinya daripada menghilang seperti tadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelukan - Colt Grice & Falco Grice
Fanfic"Aku ingin jadi pejuang seperti kakak." Colt mengerang dalam hati ketika mendengar adiknya bersikeras ingin menjadi pejuang seperti dirinya. Untuk apa? Biarlah dia sendiri yang mengemban tugas jadi pejuang untuk menghapus dosa keluarga Grice. Anak s...