Mantan Sahabat

239 12 2
                                    

Pernahkah kalian mempunyai sahabat dekat yang bahkan sampai sebegitu akrab dan sehatinya, sampai menganggap dia sebagai soulmate? Begitu juga aku.

Aku punya sahabat dekat, namanya Juanda. Saking dekatnya kami, hampir setiap hari kami jalan bareng, kemana dia pergi dia selalu mengajakku. Mengunjungi objek wisata yang lagi ngehits, mencicipi makanan di warung-warung pinggir jalan, main game online, atau bahkan cuma keluyuran mengukur jalan tanpa arah tujuan pasti dengan jupiter tuanya.

Bahkan aku ingat sekali, saat aku kabur dari rumah karena stress menyimpan masalah yang tak dapat lagi ku tahan, dia menjadi orang pertama yang memohon padaku agar segera pulang. "Aku kangen samamu, kapan kau pulang?" Begitulah bunyi suaranya saat menelponku.

Tak salah jika aku menganggapnya sebagai sahabat terbaikku. Namun itu dulu, sebelum akhirnya secara perlahan-lahan aku mulai menyadari kalau rasa ini mulai berbeda. Cara memandangku yang awalnya normal sebatas sahabat, akhirnya menembus batas, mataku tak lagi hanya sekedar memandang, namun juga kecanduan menatap sosoknya. Rinduku tak hanya sebatas ingin keluyuran atau nongkrong bareng bersamanya, namun telah berubah menjadi hasrat dan harapan untuk hidup bersamanya selamanya. Semua itu karena aku mulai menyukainya. Cinta telah mengubah segalanya.

Selama bersahabat dengannya aku memutuskan memendam semua rasa, aku tak ingin merusak tali  persahabatan kami yang telah terjalin selama bertahun-tahun, dan alasan yang lebih utama lagi ialah dia seorang straight, bukan gay seperti ku. Namun kalian pasti tau, memendam rasa hanyalah akan berbuah sakit.

"Maaf bro, aku tak bisa nongkrong bareng malam ini, aku mau ke rumah Yana" Suatu malam dia menolak ajakanku untuk keluyuran dengan alasan ingin kencan dengan pacarnya.  Dan bagiku itu cukup menyakitkan ketika aku tersisihkan oleh pacarnya.

Kehadiran Yana perlahan-lahan mulai mengurangi kebersamaan kami.

"Bro, nanti malam temani aku ya cari kado ultah buat Yana" Bahkan saat ultah pacarnya tega-teganya dia mengajakku mencari kado buat wanitanya. Tidakkah dia sadar bahwa aku terluka. Dulu hanya aku yang mendapat perlakuan istimewanya, namun sekarang aku harus berbagi keistimewaan itu dengan Yana. Tapi sudahlah, dia memang tak tahu perasaanku. Sudah resiko menyukai dalam diam hanya akan berbuah kecewa dan luka.
Semua itu masih ku anggap wajar dan aku mulai terbiasa. Namun yang akhirnya tak sanggup ku tahan lagi adalah ketika dia datang ke rumah saat hampir tengah malam.

"Apaan sih? Bertamu gak kenal waktu" Ucapku kesal sambil mengucek mata. Ku buka pintu dengan setengah mengantuk, maklum tidurku terganggu.

"Alah gitu aja marah. Kayak gak pernah aja aku main ke rumahmu" Jawab Juanda cuek. Aku langsung mengajaknya masuk ke kamarku.

"Aku nginap disini ya? Kalau pulang ke rumah nanti kena marah. Aku habis dari tempat Yana"

"Terserah" Jawabku pendek, aku kembali merebahkan tubuh di atas ranjang dan memeluk guling. Malas mendengarkan ocehannya tentang Yana, tepatnya bukan malas tapi cemburu.

"Aku numpang mandi" Ucapnya lagi.

Tentu saja aku heran sekali, tengah malam begini masih mau mandi? Aku membuka kedua bola mataku, menatapnya dengan heran. Juanda mengerti arti tatapanku itu.

"Ini bukan sembarangan mandi, tapi mandi habis enak-enak. Kau ngertikan?" Celetuk Juanda enteng sambil tersenyum sumringah dan menaik-naikkan alisnya.

Namun tidak bagiku, ucapannya itu laksana sambaran seribu petir disertai gempa bumi hebat yang mengguncang dadaku.
What??? Itu artinya, dia dan Yana tadi... Di benakku mulai terbayang khayal adegan Juanda saling tindih menindih dengan Yana.

Dari kamar mandi terdengar suara guyuran air hasil mandi wajib Juanda, sedangkan aku meringkuk diatas ranjang dan mulai terisak dan menangis.

Sejak itu aku mulai mengurangi kebersamaanku dengan Juanda. Bukan karena benci, melainkan karena sudah lelah merasakan sakit.
Namun dasar dunia yang suka mempermainkan perasaan, tetap saja suatu malam setelah dua bulan jaga jarak Juanda muncul lagi.
Namun tidak seperti biasanya yang kalau dia datang pasti ribut karena mulutnya gak berhenti bacot dan bercanda, kali ini dia diam membisu, bahkan begitu aku membuka pintu dia langsung menangis dan memelukku.

Bukan Cinta PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang