[4] Urip Iku Urup

2 2 0
                                    

Satu kecupan melayang di pipi Ara. Lukisan cat air bergambar kecoa yang setengah jadi di atas kertas, terbang serta merta saat pelaku terbahak-bahak melancarkan aksinya.
Ara geram, itu adalah kecupan yang ke lima kalinya pada tujuh hari belakangan.

Baginya, usia sepuluh tahun bukanlah bayi yang bisa di serbu dengan bebas menggunakan ciuman.
Tapi, informasi kurang sedapnya-bagi Ara-bungsu Cokrodarmono itu akan selalu jadi bayi. Berapapun usianya bertambah, kalaupun perlu seluruh kakaknya akan terus memberinya kecupan bahkan sampai uban di kepala menjadi bagian dari identitas diri.

Salah satu penggemar beratnya untuk melancarkan hobi itu adalah Aksara.
Si bontot sudah bilang ribuan kali untuk menjauhinya apalagi sampai menodai wajahnya menggunakan bibir yang dengan sengaja di beri coklat, dan ribuan kali pula Aksara akan menutup telinga.

Di beranda rumah, Mas Caca yang sibuk berkutat di depan laptop hanya bisa menggelengkan kepalanya, melihat bagaimana anak titipan bapak itu bertingkah.
Aksara berlari ke sana ke mari dan dengan suara cempreng khas anak-anak, Ara berteriak mengancam bahwa mulai pada detik itu ia tidak akan sudi menuruti permintaan Aksara untuk pergi ke warung membelikannya jagung brondong.

Tapi, apa peduli Aksara. Hanya dengan satu kedipan mata, ia mampu membuat Ara makin kesetanan mengejarnya. Kali ini, dengan raket nyamuk yang disambarnya dari atas televisi, Ara berlari naik ke tangga, mendengar suara Hani berteriak,

"ARA GAMBAR KECOAMU DIINJEK ABANG!"

Entah mendapat pasokan energi dari mana, bocah sepuluh tahun itu tak sadar bahwa kecepatannya berlari menaiki tangga sudah dianggap tidak wajar. Wajahnya merah padam, sudah bersiap melayangkan sekuat-kuatnya pukulan untuk Aksara.

"BANG AKSAAA!!!!!!"

"Nggak sengaja! Sumpah!"

Tapi tangan Ara sudah terangkat tinggi-tinggi, Aksara bersiap lagi untuk menghindar saat tiba-tiba lebam di lengannya akibat tonjokan dari kawannya di sekolah kembali nyeri.
Di saat yang bersamaan kepalanya di serang rasa sakit yang luar biasa.
Demamnya mungkin memang kambuh beberapa hari yang lalu. Tapi, nyeri yang sekarang lebih terasa sakitnya.

Raket nyamuk di tangan Ara nyaris mengenai lengannya yang nyeri, jika saja Aksara tidak berlari menyerong ke arah rak penuh piagam penghargaan milik Mas Caca.
Aksara menggigit bibir bawahnya, cemas. Namun, menutupi rasa sakitnya, laki-laki itu malah menggoyang-goyangkan pantatnya. Ara betulan berang.
Bocah itu lekas mengejar Aksara yang sudah berlari ke bawah tangga kemudian ke arah dapur, keluar dari rumah berkeliling pekarangan.

Mendekati kamar mandi untuk bersembunyi, kaki Aksara yang berganti ngilu tak tertahankan. Ia meringis, meremat daun pintu hingga buku-buku jarinya memutih.
Nyaris ia jatuh terduduk sewaktu suara Ara bergema di seluruh rumah, ia lantas berlari lagi, berusaha mengabaikan rasa sakit di kaki dan kepalanya.

Lima anak tangga sudah berhasil ia pijak dengan susah payah. Saat ia melongok ke bawah, Ara berhenti mengambil napas kemudian berlari lagi mengejar dirinya.
Sampai pada dua anak tangga terakhir, kaki Aksara mendadak lemas, tak sanggup menopang tubuhnya.

Badannya terhuyung ke samping, pandangan matanya mengabur dan dalam sepersekian detik laki-laki itu bisa merasakan dengan jelas pipinya menubruk lantai yang terasa dingin menusuk kulit.
Sayup-sayup terdengar suara Ara memanggil namanya dengan nada panik di sertai deru langkah beberapa kaki menuju tempatnya.

Meski dengan keadaan setengah sadar, Aksara bisa merasakan sebuah tangan meraih tubuhnya, beberapa sahutan suara berdesakan melewati gendang telinganya yang tak sepenuhnya bekerja. Lantas dinginnya lantai menusuk kulit berganti dengan hangatnya punggung lebar seseorang berkaos hitam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 03, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Setelah Oktober Itu [Lee Know]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang