Busway

91 9 0
                                    

Alarm itu lagi, aku benci mendengarnya.

Aku terpaksa bangun dari mimpi kosongku.
Masih pukul 5 pagi, tapi diluar sudah ramai sekali. Ku putuskan aku akan pergi lebih awal dari biasanya.

Tepat 6 bulan setelah kita selesai, tapi tidak ada yang berubah sedikitpun.

Aku dengar kamu kini lebih bahagia, melanjutkan pendidikan bersama pasangan yang memang layak kamu dapatkan.

Tapi aku, tetap berdiri disini. Didepan kaca kamar mandi yang usang dan dipenuhi tulisan iseng anak kosan lainnya. Di ujung tanduk dengan wajah lusuh dan hidup yang berantakan. Menyedihkan, pikirku.

"Denn! Cepetan dong"

Hari ini pun, akan sama seperti hari - hari lainnya.

"Iya bentarr"

Di depan pintu kamar mandi sudah menunggu, kawan lama yang sedari dulu selalu bersama. Berkacak pinggang sambil melihat ponselnya.

"Kau mau ikut reuni hari ini kah?"

"Reuni apa?"

"SMP"

"Tak datang lah aku, daf. Sampaikan saja salamku untuk geng kita dulu."

Pintu kamar mandi sudah menutup saat dia menjawab "iya". Sudah tidak tahan, katanya.

Aku tidak ambil pusing. Jam dinding masih menunjukkan pukul 5 lewat, tapi aku sudah meraih tas punggungku dan berjalan keluar pintu rumah.

"Wes arep mangkat, mas den?"

Satpam komplek menyapa dan menanyakan kabar seperti biasa.

"Iyo pak, wedi ditinggal busway. Pamit njih"

"Njih mas"

-----

Aku berbohong soal takut ditinggal busway.

Kenyataannya, aku lebih memilih berjalan kaki. Sekarang jam 6 pagi, aku masih punya banyak waktu untuk ku buang sebelum kelasnya dimulai.

Aku mendongak untuk melihat matahari yang setengah tertutup polusi. Mencoba menghirup udara pagi hari. Percuma, yang bisa kau cium hanya asap kendaraan.

Hiruk pikuk Jakarta, dengan abang ojek dan angkot yang mencari penumpang. Orang - orang yang berjualan mulai menggelar dagangannya, nasi uduk atau bubur ayam di pagi hari memang tidak pernah salah.

Tukang becak menyapa salah satu penjual makanan ringan, berbincang - bincang tentang pertandingan olahraga semalam.

Semua orang, mulai dari pekerja serabutan hingga bos perusahaan, motor bebek sampai mobil mewah, berkumpul di satu jalan raya yang ramai dan padat. Mengadu nasib dengan mencari celah kehidupan.

Dan aku bertanya - tanya, bagaimana mereka merasa hidup?

-----

Aku melanjutkan hari seperti biasanya. Kelas yang membosankan, makanan kantin yang paling murah, dan aku yang dipermalukan karena tertidur di tengah pelajaran.

Teman sekampus sedang merencanakan jalan - jalan ke Jogja, perjalanan yang pasti menyenangkan.

Tapi aku sudah lebih dulu menolak, menurutku hanya akan membuatku mengingat kamu. 1 tahun yang lalu, kita pergi kesana untuk mengunjungi kerabatmu.

Kau bilang, tahun depan saat aku menyelesaikan skripsiku, kita akan pergi ke Jogja lagi. Kali ini untuk bertemu orangtuamu. Kamu begitu yakin sampai aku juga percaya.

Tapi tahun depan tidak pernah terjadi, begitu juga dengan semua rencana yang kita buat.

"Den! Ikut nggak?"

"Hah?"

Lamunanku buyar. Daffa menatap menunggu jawaban, sebelum dia sadar kalau aku tidak memperhatikan.

"Cafe alam, kayak biasa. Jam 3 sore"

"Ohh, Iya. Ikut lah"

"Ya ayo, bareng nggak?"

Aku melihat jam, ternyata sudah hampir jam 3. Seharian ini, aku hanya melamun. Ibuku mungkin akan sedih kalau tahu ini.

"Bareng deh"

-----

Daffa memang orang yang seru, selalu tertawa dan asyik diajak bercanda. Kamu juga orang yang menyenangkan di ingatanku. Katamu, Daffa temanku yang suka melawak itu bisa duet komedi denganmu.

Tapi aku orang yang pendiam. Tidak pernah semenyenangkan itu. Kalau kamu dan daffa tidak ada, aku hanya akan duduk diam mendengarkan yang lain.

"Aku harus pergi duluan, den. Teman - teman smp sudah menelfon. Kau gapapa kan aku tinggal disini?"

"Iya santai aja daf, sebentar lagi aku juga pulang kayaknya."

"Okee, kalau ada apa - apa telfon aja den"

Aku bohong lagi, sampai pukul 10 malam aku masih disana. Mengerjakan skripsi yang tidak pernah selesai dan mendengarkan celotehan teman - teman tentang pacarnya, dosennya, atau temannya yang lain. Lebih baik daripada di kamar sendirian.

-----

Aku pulang dengan busway. Busway malam ini sepi sekali, hanya ada 6 orang termasuk aku. Musik dari ponsel memutar lagu pamungkas, aku menekan tombol volume. Selalu sama setiap harinya.

Terjebak di kehidupan monoton, tidak pernah tahu besok akan apa. Lampu yang menyala dari gedung - gedung tinggi terlihat kabur.

Kalau besok datang, aku akan apa?

Tanpa pikir panjang, aku turun di pemberhentian ini. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan, semoga bukan hal bodoh. Tapi aku berjalan ke stasiun, membeli tiket kereta ekonomi ke Bandung. Untuk apa? Aku juga tidak tahu.

Kereta akan datang pukul 11 malam.

Aku tahu ini gila, 15 menit lagi kereta datang dan bisa dibilang aku seperti melarikan diri. Ada 3 panggilan tidak terjawab dari Daffa. Maaf daf, nanti akan ku balas.

Kereta tiba dan aku melangkah memasuki gerbongnya. Gerbong 2 di kursi 4A.

Besok Mungkin Kita SampaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang