Pistol

59 6 1
                                    

Untuk pertama kalinya aku memegang pistol seumur hidupku.

Ibunda yang mungkin sekarang sedang tidur dirumah, kalau ibu lihat aku sekarang, mungkin ibu akan pingsan.

Dia menembak kaki orang itu. Orang itu jatuh dan lantai kereta menjadi merah.

Tanpa melihat ke belakang, dia terus berjalan ke gerbong depan. Aku berusaha berjaga - jaga sambil mengarahkan pistol ke belakang. Berlagak keren seperti polisi yang mengejar buronan.

Kereta tetap melaju dengan cepat, semakin lama bahkan kecepatannya bertambah.

Gerbong didepan kami adalah gerbong kosong. Dapat dilewati dengan mudah.

"Di paling depan ini lokomotif. Kemungkinan ada 3 orang yang berjaga disana."

"Bagaimana kamu tahu?"

Dia tersenyum sedih. "Sudah pasti aku tahu."

Dia melangkah ke arah lokomotif, dengan posisi siaga dan pistol terangkat. Aku mengikutinya dari belakang.

Pintu dibuka dengan kasar. Dia langsung menembakkan pistolnya tanpa melihat dengan jelas.

Dia benar, 3 orang. Dan ketiganya sekarang tergeletak begitu saja di lantai. Bersama seorang masinis yang sudah lebih dulu sepertinya.

-----

Keadaan sekarang, dia sedang berkutat dengan mesin lokomotif dan aku hanya berdiri mematung. Aku berusaha membuka percakapan.

"Kok kamu bisa punya pistol?"

"Panjang ceritanya. Kalau kita nggak mati disini, nanti aku ceritakan"

Aku baru menyadari situasinya. Ternyata lebih kompleks dari yang aku bayangkan. Aku memang bilang aku bisa mati kapan saja, tapi aku tidak tahu kalau bisa jadi hari ini.

"Siapa namamu?" Dia bertanya tanpa memalingkan wajahnya.

Nama, aku tidak tahu namanya bahkan setelah berbincang 2 jam dengannya.

"Raden."

"Nama yang aneh"

Aku mendengus. "Kamu?"

"Irina."

Aku berniat mengejek namanya. Tapi belum sempat kulakukan, bunyi pistol lainnya sudah terdengar.

Tidak, komplotan itu mengarah kesini.

"Hei, aku pikir kamu harus melihat ke belakang."

"Aku sibuk."

"Komplotan itu datang."

Dia berbalik. Melihat mereka dan menyiapkan pistolnya.

Ibunda, aku bisa jadi akan pipis di celana.

-----

Tembakan terus terjadi, aku bahkan tidak tahu sudah berapa kali.

DOR!

Tembakan kali ini mengenai tangan kiri Irina. Dia menurunkan tangannya, aku menjadi panik.

Aku berusaha melemparkan tembakan juga. 2 peluru, meleset. Tapi peluru ke 3 mengenai satu orang. Orang itu terjatuh dari tempatnya.

Ya Tuhan, aku mungkin baru saja membunuh orang lain.

Orang terakhir menembakan pistolnya, peluru itu mengenai mesin lokomotif. Irina menembak orang itu hanya dengan satu tangan.

Memastikan tidak ada lagi, dia berbalik dan menyadari,

"Mesinnya!"

Kereta melaju dengan kecepatan penuh, aku betul - betul panik. Tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Di ujung rel ini terlihat belokan, yang dengan kecepatan secepat ini, aku tidak yakin apakah keretanya bisa berbelok atau tidak.

"Kita harus apa?!" Tanyaku penuh dengan rasa takut.

Tuhan, aku benar - benar akan mati.

21 tahun aku hidup, kurang lebih tidak ada isinya kecuali berpacaran dengan orang yang selama 6 bulan ini membuat hidupku tidak bermakna.

Baru saja membunuh orang 5 menit yang lalu, dan sekarang aku akan mati?

Irina menghembuskan napas. "Pegangan" katanya.

Aku berusaha mencari pegangan, aku memutuskan untuk berpegangan kepada pegangan di dinding lokomotif.

"Kamu akan apa?" Tanyaku di sela ketakutan.

"Aku seorang masinis, Raden." Jawabnya.

Irina menarik tuasnya dengan sangat kencang, otot tanganku mungkin tidak akan kuat untuk menariknya.

Bunyi rel dan roda kereta berdecit sangat kencang memekakkan telinga. Aku menutup mata tidak ingin melihat apa yang ada di depan. Merapalkan semua doa yang aku ingat.

Tapi, tidak ada yang terjadi. Aku membuka mata untuk melihat Irina bernapas lega. Kereta mulai melambat dan berjalan dengan normal.

Irina mengumumkan kabar melegakan melalui mikrofon di lokomotif.

Kami bertatapan dan tersenyum. Hidup memang tidak ada yang tahu.

-----

Aku dan Irina turun dari kereta. Sekarang sudah pukul 3 pagi.

Aku 4 jam yang lalu mungkin akan menganggap ini semua aneh. Tapi aku sekarang, menganggap ini hal paling hebat dalam hidupku.

Aku menatapnya.

"Kamu tahu, Irina. Kamu benar"

"Benar soal apa?"

"Soal lagumu, besok mungkin kita sampai."

Dia tersenyum penuh kemenangan.

Tak ada yang tahu
Kapan kau mencapai tuju
Dan percayalah bukan urusanmu untuk menjawab itu
Katakan pada dirimu,
Besok mungkin kita sampai

Aku bisa mati kapan saja, tidak ada yang tahu.
Aku juga tidak akan tahu apa yang besok akan aku lakukan.

Tapi, tuhan sudah mengatur sedemikian rupa jalan cerita ku.
Dan apapun itu, itulah cerita terbaikku.

Aku mungkin sudah bisa menemukan makna baru hidupku.

Dan mungkin, orang baru di hidupku.

Besok Mungkin Kita SampaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang