"Bukan dinormalisasi, Ta. Tapi diterima. Kalau hari ini kamu terima, besok akan ada satu orang buat kamu. Yang ngga sama lagi, seperti semuanya."
Bagaimana aku menormalisasi semua orang, jika orang-orang bahkan tak cukup normal memandangku sebagai manusia? Yang bisa sedih, yang hatinya bisa remuk jika dihantam satu hingga seratus pukulan satu waktu. Bagaimana menjadi wajar, ketika semuanya kulalui sendirian, kuterima bahkan kujalani sendirian, dengan segala susah dan pahitnya, lalu orang lain bilang, "Orang-orang begitu, kamu harus sabar."
Kupikir sabar tidak serendah kau disakiti lalu kau membiarkan habis dirimu babak belur. Terus-menerus membiarkan dirimu dipukul, bakar, hantam, dan tak melakukan perlawanan apa pun. Kata sabar yang indah adalah yang berwibawa. Kau tahu kapan kau harus cukup menjadi seorang yang berwibawa.
Aku pernah membaca, sering malah, sabar dan semangat tidak seharusnya diucapkan saat temanmu baru saja selesai curhat panjang lebar. Sambil menangis, sambil terisak-isak, begitu pedih dilihat. Ada jutaan kata yang bisa jadi kalimat lebih baik, ada jutaan lebih. Lebihnya banyak sekali.
"Kamu ngga ada di posisiku, Gas!"
"Iya, tau. Tapi aku cuma mau kamu jadi baik. Tetap jadi Tata yang tenang,"
"Tenang, tenang, depresi gitu!"
Ngga pa pa yang berkali-kali, suatu waktu juga bisa jadi masalah. Iya iya yang diulang, suatu waktu bakal tak jadi baik-baik saja. Kau, lawanlah! Aku menegaskan kalimat itu berkali-kali,
"Tata, lawanlah! Lawanlah! Jadi kuat bukan berarti ngga mati ditimpa beban satu ton!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenapa Kita Harus Memeluk Semua Kesakitan Kita Sendiri?
Ficção Geralcerita tentang kesakitan yang harus kau peluk sendiri.