"Mah, Gita boleh nggak nikah muda?" Tiba-tiba Gita anakku yang sedang membantu atau lebih tepatnya mengganggu acaraku membuat kue menceletuk ngawur.
"Gita, itu kacangnya jangan dimakan terus, nanti habis isian mochinya," kataku sambil memukul tangannya yang tidak berhenti mencomot kacang tumbuk.
"Ih, Mamah ini pelit banget," protesnya.
"Ya, kamu makannya nggak kira-kira, kalau mau kacang makan saja yang ada di toples. Bukan yang sudah dihalusin gini. Nanti isian mochinya jadi kurang. Kalau lapar makan nasi saja sana, Kamu itu makan melulu juga nggak gemuk-gemuk. Pada lari kemana itu nasi dan teman-temannya," omelku panjang lebar.
"Ck, Mamah nih. Ya jadi kotoran kaleee," gerutu Gita cemberut. "Eh, Mah, gimana? Mamah belum jawab pertanyaan Gita lo," tanyanya lagi.
"Pertanyaan yang mana?" tanyaku balik.
"Ih, Mamah deh. Nggak perhatian ah." Gita merajuk. Dia berdiri dari duduknya dan berjalan menuju kulkas untuk mengambil susu kotak. Setelah itu dia mengambil gelas dan duduk lagi di depanku. Menuangkan susu kotak itu ke dalam gelasnya.
"Boleh nggak Gita nikah muda?" Dia meneguk susunya sambil melihatku serius.
"Nikah muda itu umur berapa? Kamu itu baru semester lima lo, Git. Umurmu saja baru dua puluh tahun dua bulan lagi. Kamu juga tidak punya teman laki-laki yang dekat."
"Gimana mau punya teman laki-laki. Gita kan mahasiswa kupu-kupu. Kuliah pulang kuliah pulang. Asar belum pulang aja ditelfonin terus sama Mamah kayak satpam aja."
Aku menahan ketawa melihat dia protes begitu. Aku memang termasuk ibu yang over protective. Berdasarkan pengalamanku aku cukup berhati-hati memberikan kebebasan bergaul pada Gita anakku satu-satunya.
Dulu ketika masih kuliah, ada kakak kelas yang suka padaku. Namanya Arya. Dia satu tingkat di atasku. Waktu itu Bapak melarang keras anaknya menjalin 'hubungan yang tidak jelas' kata lain pacaran versi Bapak, dengan lawan jenis. Kalau tidak bisa dilarang, maka Bapak akan mengambil langkah drastis dengan menikahkan anaknya sekalian. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, begitu kata Bapak.
Itulah yang terjadi padaku waktu itu. Atas nama cinta yang aku agung-agungkan, aku dan Arya nekat menerima tantangan Bapak. Akhirnya menikahlah kami meskipun waktu itu aku masih berumur dua puluh tahun dan masih semester lima, sama seperti Gita saat ini.
Aku pikir tidak masalah asalkan kami saling mencintai. Sebentar lagi Arya juga lulus kuliah. Setelah lulus kuliah dia akan kerja juga. Pikiranku waktu itu sangat sederhana. Ternyata indahnya pernikahan hanya di awal. Ketika semua masih disubsidi orang tua. Begitu suamiku lulus dan bekerja subsidi tersebut dicabut.
Padahal berapa gaji fresh gradute pada waktu itu. Sama sekali tidak cukup membiayai kehidupan kami yang waktu itu masih suka main-main, menonton dan bersenang-senang. Untung Bapak masih mengijinkan aku dan Arya menumpang di rumah orang tua jadi kami tidak sampai kelaparan.
Masalah mulai muncul ketika Arya dipindah ke ibu kota. Karena aku sedang skripsi aku tidak bisa mendampinginya. Kami pun menjalani LDR dan ini sangat berat. Aku yang cemburuan mulai mencurigainya apabila sehari tidak mengirimiku pesan sama sekali atau tidak menghubungiku atau pesanku tidak segera dibalas. Untung hanya enam bulan LDR kami jalani. Setelah aku lulus aku ikut suamiku ke ibu kota. Kami tinggal di rumah kontrakan. Meskipun kecil tapi kami bahagia.
Sebetulnya aku ingin bekerja memanfaatkan ijasah sarjanaku dan juga agar aku punya kegiatan. Tidak hanya tidur-tiduran di rumah. Namun belum juga sempat mencari pekerjaan aku sudah hamil duluan. Akhirnya Arya melarangku bekerja sampai Gita lahir dan keinginanku bekerja kantoran lenyap diganti dengan kesibukanku menjadi mamah muda.