Renjana Tak Bertepi

387 35 4
                                    

Setelah seminggu meninggalkan rumah, malam ini aku pulang. Rumah sudah sepi. Istri dan anak-anakku pasti sudah tidur. Begitu masuk rumah lampu masih menyala terang benderang. Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul 11.30.

Ah, selalu saja begini. Biasanya aku yang selalu mematikan lampu ketika semua tidur, hanya menyisakan beberapa saja untuk penerangan seadanya agar tidak gelap gulita. Kulihat anakku yang bungsu tidur di ruang keluarga dengan TV yang masih menyala menyiarkan pertandingan sepak bola Liga Inggris antara Manchester City dan Arsenal. Aku tersenyum. Ini siapa sebenarnya yang nonton dan ditonton.

Aku melirik sebentar ke layar kaca, posisi 2-1 untuk Manchester City. Pertandingan tinggal lima menit lagi. Sudah hampir pasti Arsenal kalah. Anakku pasti senang sekali melihat hasil pertandingan kali ini karena Manchester City adalah klub kesayangannya.

Aku masuk ke kamarku. Kulihat istriku sudah tidur lelap. Tidurnya miring menghadap ke arah timur. Aku pandangi wajahnya. Tampak gurat kelelahan dan kesedihan muncul di wajahnya yang masih cantik meskipun usianya sudah tiga puluh delapan tahun. Kulihat bekas air mata yang sudah mengering masih terlihat jelas di ujung matanya. Pasti dia menangis sebelum tidur. Maafkan aku sayang aku memang keterlaluan. Aku tidak bisa menepati janjiku untuk pulang tepat waktu.

*****

“Mas, jangan lupa Rabu sudah sampai rumah ya, sudah beli tiket pulangnya belum?” tanya istriku pada Senin dini hari seminggu yang lalu ketika mengantarku sampai depan rumah.

Taksi yang akan membawaku ke bandara sudah siap dari lima menit yang lalu. Aku sampai tidak enak dengan sopir taksi tersebut. Biasanya kalau pesan taksi dini hari agak lama datangnya. Tadi hanya sepuluh menit dari aku pesan taksi sudah sampai rumah. Aku jadi terburu-buru karena baru selesai mandi. Untung semua kebutuhanku untuk dinas luar selama tiga hari ke Jakarta sudah siap dari semalam. Tentu saja istriku yang cantik yang menyiapkan semuanya.

“Iya, Dek. Kemarin sudah dipesenin bagian HRD tiket pulang pergi kok,” jawabku. “Jangan khawatir, Rabu malam kita dinner berdua di de remboelan, Mas sudah reservasi,” bisikku padanya dengan senyum penuh arti sambil menyebutkan sebuah resto yang terkenal dengan bangunannya yang klasik dan ornamen jadul tetapi romantis.

Istriku tersenyum manis tanda setuju dengan ideku. Dia mengambil tangan kananku dan menciumnya dengan takzim.

“Hati-hati ya Mas, semoga acaranya lancar,” katanya setelah melepaskan ciumannya pada tanganku. Aku memeluknya dan mencium kepalanya sayang.

“Iya, Dek, hati-hati di rumah ya,” pesanku.

Aku masuk ke dalam taksi setelah menaruh koper kecilku di bagasi. Kubuka jendela pintu mobil di sebelah kiriku.

“Assalamualaikum,” kataku sambil melambaikan tangan padanya.

“Waalaikum salam, Mas,” jawabnya tersenyum manis. Senyum yang selalu membuatku rindu untuk segera pulang ke rumah apabila jauh darinya.

Taksi melaju membelah pagi yang dingin menuju bandara. Jalanan masih lengang seakan enggan untuk memulai aktivitasnya. Suasana masih gelap,  sang surya belum memberikan semburat merahnya di ufuk timur pertanda dia akan segera datang.

Ah, aku sebetulnya enggan melakukan perjalanan kali ini. Entah mengapa rasanya malas meninggalkan istri dan anak-anakku. Padahal hanya tiga hari. Mungkin karena semakin tua aku semakin malas kalau tugas luar kota.

Tapi okelah, demi sesuap nasi dan sebongkah berlian aku tetap berangkat begitu mandat dari perusahaan diberikan padaku kemarin sore. Iya. Kemarin sore. Mendadak sekali pemberitahuannya. Karena sebetulnya aku tidak terjadwal untuk berangkat. Baru Kamis minggu lalu aku pulang dari meeting di Jakarta pula. Di kantor pusat. Namun, mendadak pimpinan cabang tempatku bekerja berhalangan hadir hingga aku harus mewakilinya bersama dengan manager lainnya.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang