Bahagia Yang Berbeda

20 2 4
                                    

~Untuk sebuah hati yang harusnya di jaga, maafkan aku~


Mataku mengerjab beberapa kali saat silau cahaya menerobos dari sela-sela jendela kamar. Aku terbangun seketika saat sadar bahwa hari sudah sangat terik. Samar-samar aku mendengar percakapan di luar kamar. Siapa?

Ya Tuhan, aku kesiangan.

Spontan aku turun dari ranjang saat melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Sebentar lagi Mas Abhi akan berangkat kerja dan bisa-bisanya aku belum menyiapkan apa pun untuknya.

Tubuh sedikit melonjak saat melihat pemandangan yang tersaji di meja makan. Di sana, Mas Abhi tak duduk seorang diri. Ada seorang wanita paruh baya yang begitu kukenal. Mama Arini, ibu mertuaku sekaligus mama dari Mas Abhi.

Sedikit kikuk, aku berjalan mendekat ke arah mereka. Mas Abhi yang lebih dulu sadar akan kehadiranku tersenyum dengan begitu manisnya. Seolah-olah tak ada sebuah kesalahan yang telah kuperbuat.

"Mama, maaf aku bangun kesiangan." Aku menunduk, mengecup tangan wanita yang juga sedikit terkejut dengan kehadiranku.

Wanita berjilbab pink itu menoleh, tersenyum seraya mengangguk pelan.

"Sudah. Tidak apa-apa. Kata Abhi, semalam kamu susah tidur. Jadi, wajar kalau sekarang kesiangan," ucapnya yang membuatku semakin kikuk saja.

Sebelum menuju kamar mandi, aku sempat melirik ke arah Mas Abhi. Suamiku, sedang tersenyum seraya mengangguk pelan. Membuat rasa bersalah di dalam dada kian membesar saja.

Sejak dulu, hal inilah yang kusuka dari Mas Abhi. Meskipun kejadian ini murni kesalahanku, tapi dia tak pernah ragu untuk menutupi aib istrinya.

"Kamu itu tanggung jawabku sekarang. Baik buruknya keadaanmu, dalam keadaan sadar atau tidaknya kamu melakukan kesalahan, sudah menjadi kewajibanku untuk menutupinya. Biar apa yang ada dalam rumah tangga kita, kita selesaikan sendiri tanpa campur tangan orang lain," ucap Mas Abhi tepat seminggu setelah kami sah menjadi suami istri. Dan selama ini, Mas Abhi memang benar-benar menepati ucapannya itu.

Sedangkan aku? Begitu tak tahu malunya saling memuji dengan lelaki lain tanpa memikirkan bahwa secara tak langsung membangun aibku sendiri.

"Mau ke kamar mandi dulu, ya, Ma. Mas," pamitku yang langsung diangguki dua orang itu sacara bersamaan.

Sampai di dalam kamar mandi, tak henti-hentinya kau merutuki kebodohan diri. Aku bahkan memukul kepala sendiri berkali-kali untuk menghukum kelalaianku kali ini.

Semalam, karena asyik berbalas chat dengan Genta, aku sampai lupa waktu. Jangankan edit naskah seperti yang sebelumnya direncanakan, aku bahkan hanya memindahkan setengah naskah saja. Semua  terbengkalai hanya karena kegiatan yang tak bermanfaat.

Usai mencuci muka dan menggosok gigi, aku keluar dari kamar mandi dan langsung menuju meja makan. Tak berniat untuk ikut sarapan, hanya ingin menunaikan kewajiban dengan melayani Mas Abhi sebelum berangkat kerja.

Nasi kuning, ayam goreng, perkedel daging serta telor dadar yang disuwir terhidang di meja makan. Ini adalah makanan kesukaan Mas Abhi yang selalu mama bawa ketika berkunjung kemari.

Rumah ibu mertuaku memang tak begitu jauh. Jika ditempuh dengan kendaraan bermotor, mungkin hanya membutuhkan waktu 15-20 menit saja. Dan mama selalu datang pagi-pagi sekali, sengaja untuk memberikan putranya sarapan dengan menu favoritnya. Aku sendiri? Memang tak begitu ahli masak nasi kuning dan selama ini, Mas Abhi tak pernah keberatan soal itu.

"Mas, naskah yang semalam belum selesai. Aku titip dulu, ya? Biar kuselesaikan setelah Mas Abhi pulang nanti sore," ucapku saat mengantar Mas Abhi sampai di teras rumah.

Suamiku itu mengangguk. "Nanti aku usahain pulang cepet biar kamu bisa langsung ngerjain dan gak perlu begadang lagi," ucapnya yang langsung kuangguki dengan cepat.

Seperti biasa, aku mencium tangan Mas Abhi sebelum dia benar-benar berangkat kerja. Dan dia pun akan membalas dengan sebuah usapan lembut di pucuk kepalaku.

Aku kembali ke dalam saat mobil lelaki yang menghidupiku tiga tahun ini sudah benar-benar tak terlihat.

"Kamu masih sibuk nulis cerita?" Sebuah pertanyaan tiba-tiba ibu mertuaku lontarkan. Mungkin dia mendengar obrolanku dengan putranya tadi.

Aku terpaksa menghentikan langkah dan berdiam menunduk menghadap Mama Arini yang ternyata sudah berpindah ke ruang tamu itu.

"Hanya sesekali, Ma," jawabku pelan.

"Mama bukannya melarang, tapi dari pada kamu sibuk dengan kegiatan tak penting seperti itu, lebih baik kamu konsentrasi saja dengan program hamil kalian."

Aku menghembuskan napas pelan. Lagi-lagi pembahasan yang sama setiap kali mama suamiku itu ke mari.

Sejujurnya, menjadi anak yatim piatu sejak kecil dan bisa diterima dengan baik oleh keluarga Mas Abhi adalah keberuntungan tersendiri olehku. Mama Arini adalah orang yang baik, pengertian bahkan tak pernah sekali pun bersikap kasar kepada menantunya. Jika kali ini dia bersikap sedikit tegas kepadaku, sungguh aku tak menyalakannya.

Mas Abhi adalah anak sulung dari dua bersaudara. Adiknya, Ambar masih sibuk bekerja dan belum berniat untuk menikah. Tak salah jika akhirnya anak Mas Abhi yang menjadi harapan mereka kali ini. Cucu pertama yang sudah sejak lama mereka idam-idamkan.

Dibanding siapa pun, tentu saja aku yang paling takut di sini. Aku tak mau jika suatu saat nanti dituding sebagai perempuan mandul. Apalagi jika kemungkinan terburuknya aku harus kehilangan suami atau justru dipaksa berbagi dengan wanita lain. Sungguh, aku tak mau semua itu terjadi.

Tiga tahun memang bukan waktu yang sebentar untuk terus-terusan bersabar. Aku dan Mas Abhi pun sudah berusaha semaksimal mungkin untuk segera mempunyai momongan. Namun, jika sampai detik ini Tuhan belum mengijinkan, apa lantas itu salah kami?

Aku pun pernah hampir gila dan putus asa mengingat semua ini. Mas Abhi memang tak pernah membahasnya. Bagi dia kalau sudah waktunya, Tuhan akan memberikan sendiri kepercayaan itu untuk kami. Dia memang bisa bersikap secuek itu, tetapi bagaimana dengan keluarganya?

Menulis adalah salah satu alasanku untuk melepas segala gundah yang tak pernah bisa kubagi. Aku bisa mencurahkan apa pun yang ada di hatiku dengan begitu bebas tanpa rasa takut. Hingga akhirnya, Genta hadir dan membuatku makin melupakan resah di hati.

"Kamu sering-sering keluar rumah, bergaul dengan ibu-ibu komplek. Tanya-tanya gimana biar cepet punya anak. Dari pada kamu diam di rumah sambil nulis-nulis begitu? Kamu nulis bukan untuk cari uang, kan? Uang dari Abhi gak kurang kan?"

Aku hanya menghembuskan napas pelan mendengar tuduhan ibu mertuaku itu. Uang dari Mas Abhi memang tak pernah kurang, hanya saja di luar sana aku tak mendapatkan kebahagiaan saat berada di rumah. Berbalas chat dengan Genta.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PATGULIPAT (Selingkuh Virtual)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang