~𝕸𝖊𝖒𝖆𝖓𝖌 𝖘𝖎𝖓𝖌𝖐𝖆𝖙, 𝖙𝖆𝖕𝖎 𝖕𝖊𝖗𝖐𝖊𝖓𝖆𝖑𝖆𝖓 𝖎𝖙𝖚 𝖒𝖊𝖓y𝖎𝖘𝖆𝖐𝖆𝖓 𝖘𝖊𝖇𝖚𝖆𝖍 𝖗𝖆𝖘𝖆 y𝖆𝖓𝖌 𝖇𝖊𝖌𝖎𝖙𝖚 𝖒𝖊𝖑𝖊𝖐𝖆𝖙~
*
*[Selamat pagi, Permaisuri]
Sebuah pesan singkat yang baru saja masuk berhasil menciptakan sebuah senyuman di bibir. Hanya sapaan biasa, tapi getarannya terasa sampai ke jiwa.
[Pagi juga, Bang Genta]
Balasku disertai sebuah emotikon senyum. Sapu yang sebelumnya sudah berada di tangan aku letakkan kembali ke tempatnya. Sembari menunggu balasan, aku memilih merebahkan tubuh pada sofa ruang tamu dengan bibir yang masih mengulas senyum.
Gila! Mungkin itu yang akan orang ungkapkan jika melihat keadaanku saat ini. Yah, aku tak ubahnya seperti gadis belia yang sedang jatuh cinta. Baru disapa aja, rasanya aku enggan melakukan aktivitas apa pun. Meskipun hanya lewat berbalas chat, aku ingin sepenuhnya ada untuknya, tak ingin dia menunggu lama balasan dariku. Segila itu memang.
[Kamu sedang apa? Sudah sarapan?]
Sebuah pesan balasan pun masuk. Lagi-lagi hanya sebuah pertanyaan sepele, tapi entah kenapa aku merasa seperti begitu diperhatikan.
[Lagi mikirin, Abang. Bang Genta sendiri sudah sarapan?]
Mengucapkan gombalan-gombalan receh seperti ini sudah biasa kami lakukan. Sebagai seorang penulis, mengarang sebuah kata-kata manis bukan hal yang sulit bagi kami. Namun, meskipun tahu semua hanya kata yang belum jelas kebenarannya, entah kenapa aku selalu melayang jika sosok lelaki itu melemparkan bualan.
[Kok sama? Gak chat sehari saja, kok aku kangen banget sama kamu, ya?]
Diterbangkan ke awan bersama dengan ribuan kupu-kupu, itulah yang kurasakan saat ini. Kuraih bantal sofa yang sedari tadi kujadikan bantal. Kututup seluruh wajah dengan benda tersebut, malu rasanya jika ada yang melihat ekspresiku. Meskipun tak terlihat, aku yakin ada semburat merah di wajahku saat ini karena malu. Ya, meskipun kenyataannya tak ada siapa pun di rumah.
Kuraih kembali ponsel yang sebelumnya kuletakkan begitu saja di atas meja. Segera aku ketik pesan balasan untuk seseorang yang mungkin sedang menunggu di sana.
[Baru juga sehari, gimana kalau berhari-hari?]
Balasku lagi tentu saja dengan sebuah senyuman yang lebih lebar. Kemarin, dia memang mengatakan sedang ada perjalan ke sebuah desa. Selain sibuk, sinyal di sana pun tak mendukung. Entah apa pekerjaannya, aku tak pernah bertanya. Begitu pun sebaliknya.
Begitulah aku, terkadang bersikap seolah-olah begitu mendewakannya, tapi di lain waktu, aku membuatnya seperti ditarik ulur. Bohong jika aku bilang tidak menikmati saat-saat ini, tapi terlihat begitu berharap kepadanya jelas sekali itu bukan sifatku. Suka tapi tak harus terlalu terbuka, itu yang sering kali aku terapkan.
[Kamu yakin akan setega itu padaku?]
Spontan kepalaku menggeleng saat membaca balasan yang baru saja kuterima. Benar kata dia, bagaimana aku tega? Sedang tak mendapat kabar sehari darinya saja aku sudah teramat merindu.
Dia adalah Genta Danurdara, sosok teman yang kukenal dari dunia maya yang kini beralih menjadi salah satu pencipta rasa. Lucu memang, jangankan untuk saling bertemu, bahkan nama asli pun kami tak saling tahu.
Berlindung dibalik akun Maheswari, aku memulai hobi menulis sejak setahun lalu. Tak sengaja bertemu dengan sebuah groub kepenulisan, aku mulai mengasah kembali kemampuan menulisku yang telah lama tumpul.
Berbagai event kepenulisan aku ikuti, tak hanya ingin kembali menyalurkan hobi, aku juga ingin belajar menulis dari para senior-senior yang tak pernah sombong membagikan ilmunya. Hingga akhirnya tepat lima bulan yang lalu, aku memberanikan diri untuk menulis sebuah novel solo.
Berawal dari saling lempar komentar, aku menemukan sosok Genta. Dia adalah orang yang cukup terkenal di kalangan penulis. Selain karena sifatnya yang ramah, tulisan-tulisannya pun selalu dikenal penuh nyawa.
"Tulisan yang bagus, aku suka idenya. Tapi ada beberapa paragraf yang terkesan terburu-buru. Ini novel, kamu tidak dibatasi dengan jumlah kata. Coba pakai showing yang lebih halus, pasti feelnya lebih terasa"
Aku ingat betul bagaimana komentar pertama yang dia utarakan beberapa bulan lalu. Sejak saat itulah, aku mulai rajin memanggil dia di tiap postingan. Tujuan awal memang untuk meminta kritik dan saran pada tulisanku, tapi siapa yang sangka obrolan itu justru bertahan hingga sekarang. Bahkan tak lagi tentang literasi.
"Kamu orangnya asyik, ya? Keberatan gak kalau tukeran nomor ponsel? Ya, siapa tahu kita bisa diskusi soal literasi?"
Setelah cukup lama saling menyahut di kolom komentar, messeger menjadi sasaran kami selanjutnya. Dan Ya, alasan pertama yang lagi-lagi dia utarakan untuk sebuah nomor ponsel. Tentu saja aku tak keberatan, selain karena aku butuh pembimbing untuk tulisan, aku pun cukup nyaman berteman dengannya.
Kehadiran Genta laksana angin segar dalam hidupku. Selama ini, tak pernah ada yang mendukungku untuk menulis. Semua orang berpikir, menulis adalah pekerjaan buang-buang waktu, tak bermasa depan. Padahal mereka tak tahu saja, banyak sekali para senior yang justru meninggalkan pekerjaannya untuk fokus menulis. Dan hasilnya? Rumah, mobil bahkan penerbitan sendiri atas nama pribadi.
Aku memang tak pernah bermimpi setinggi itu, tapi setidaknya menulis bisa menjadi self healing untukku. Di tengah hantaman masalah, ketika dunia menyudutkan dan disaat aku berdiri tanpa dukungan, aku merasa menulis adalah terapi terbaik. Namun, sayangnya mereka tak pernah mau mengerti.
Genta menepati janji, dia tak pernah keberatan saat aku meminta bantuannya untuk menilai tulisanku. Dia pun tak henti-hentinya memberikan dukungan. Dia adalah sosok yang tak pernah kutemui di kehidupan nyataku. Dan sialnya, aku jatuh cinta.
Ya, aku jatuh cinta pada dia, sosok maya yang bahkan suaranya saja tak pernah terdengar di telinga. Lucu! Tapi memang beginilah adanya.
Sebuah ketukan pintu menyadarkanku dari lamunan. Aku melirik ponsel di tangan, pesan Genta bahkan belum kubalas. Aku tersenyum kecut. Segala tentang Genta memang selalu berhasil mengalihkan perhatian.
Aku buru-buru bangkit dan berjalan menuju pintu. Sosok yang amat aku kenal tersenyum di depan sana.
"Mas, kok balik?" tanyaku pada lelaki yang langsung melangkahkan kaki masuk begitu saja.
"Iya. Ada berkas yang ketinggalan," jawabnya sembari berlalu menuju kamar.
Entah apa yang dia cari. Tak berniat mendekat aku justru menunggu sosok lelaki itu di tempat yang sama. Di depan pintu rumah.
Tak berselang lama, lelaki itu kembali muncul dengan sebuah map di tangan.
"Belum mandi, ya?" tanyanya saat melewatiku.
"Belum, Mas." Aku menyusul langkahnya yang sudah sampai di teras rumah.
"Ya, sudah. Mas balik kerja lagi, ya?"
Aku mengangguk. Usai menjabat tangannya, lelaki itu langsung berbalik dan masuk ke dalam mobil. Aku menatap mobil yang semakin menjauh itu dengan pandangan ... entah.
Tak ada pertanyaan kenapa belum mandi, atau bahkan pertanyaan apakah aku sudah sarapan. Selalu cuek dan tanpa basa-basi.
Dialah Abhi Ardiansyah, suamiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
PATGULIPAT (Selingkuh Virtual)
RomanceMenjadi penulis membuat Batari dekat dengan akun penulis laki-laki. Berawal dari diskusi literasi, kedua teman maya itu akhirnya bertukar hati. Beberapa bulan menjalin hubungan, Batari sadar bahwa kini dia benar-benar jatuh cinta. Hanya saja, hubung...