~𝕮𝖎𝖓𝖙𝖆 𝖎𝖙𝖚 𝖒𝖆𝖘𝖎𝖍 𝖆𝖉𝖆, 𝖍𝖆𝖓y𝖆 𝖘𝖆𝖏𝖆 𝖒𝖆𝖙𝖆 𝖘𝖚𝖉𝖆𝖍 𝖒𝖊𝖒𝖆𝖓𝖉𝖆𝖓𝖌𝖓𝖞𝖆 𝖘𝖊𝖇𝖆𝖌𝖆𝖎 𝖍𝖆𝖑 y𝖆𝖓𝖌 𝖇𝖊𝖗𝖇𝖊𝖉𝖆~
•
•"Mas Abhi, boleh pinjam laptopnya? Aku butuh menyatukan naskah dalam bentuk word."
Lelaki yang sedang menikmati sebatang rokok di teras rumah itu tersenyum, lantas mengangguk pelan. Aku balas mengangguk kecil lantas berbalik masuk ke rumah.
Aku meraih laptop yang tergeletak di meja ruang tamu. Sedari tadi benda elektronik ini memang digunakan oleh pemiliknya. Untuk itulah baru sekarang aku berani untuk meminjamnya.
Kubawa benda kotak itu menuju meja makan. Ada satu naskah calon novel kedua yang butuh diedit dan dikirim ke penerbit secepatnya. Selama ini, aku menggunakan ponsel untuk menulis. Bisa saja aku menyatukan seluruh naskah lewat ponsel, hanya saja, itu terlalu lama dan ribet. Mataku tak cukup kuat terus-terusan menatap huruf kecil-kecil seperti itu.
Sembari menunggu laptop menyala sempurna, pandanganku tak sengaja mengarah kepada Mas Abhi, lelaki yang telah menjadi suamiku tiga tahun lamanya. Selalu seperti ini, dia memang tak pernah melarangku menulis, tapi tak juga terlihat mendukung. Dia tidak pernah tertarik dengan hobiku ini, jangankan membacanya, berapa banyak tulisan yang kuhasilkan pun, aku yakin dia tak tahu.
Tak hanya dalam hal menulis, soal apa pun Mas Abhi selalu begitu. Dia membebaskanku dalam berbagai hal, selagi itu benar dan tak menyimpang, dia tidak akan protes. Seharusnya aku bahagia, tapi entah kenapa aku justru merasa seperti orang yang berdiri sendiri.
Bunyi notifikasi dari ponsel membuatku mengalihkan pandangan. Bibir spontan tersenyum saat melihat nama yang tertera di layar. Belum membuka pesannya saja, moodku sudah langsung membaik.
[Permaisuri, sedang apa? Pasti sedang edit naskah, ya? Semangat, ya? Jangan ragu meminta bantuan jika kamu membutuhkanku]
Lengkukan di bibirku semakin melebar. Berbeda sekali dengan Mas Abhi, Genta selalu paham akan kondisiku. Sebenarnya inginku pun tak terlalu muluk, cukup diberi semangat seperti ini saja, aku sudah bahagia. Akan tetapi, Mas Abhi tak pernah melakukan itu.
Secara tak sadar, aku memang sering kali membandingkan Mas Abhi dengan Genta. Salah memang, dan aku tahu itu dosa besar. Hanya saja ... entahlah. Apa salah jika bahagia mendapatkan apa yang aku butuhkan?
Sebenarnya, selama ini aku sudah terbiasa dengan sikap cuek Mas Abhi. Sejak kami berpacaran pun, dia memang tipe lelaki yang kurang peka. Dan selama ini, aku tak pernah bermasalah dengan itu. Namun, semenjak muncul Genta pandanganku mulai berubah.
Terkadang, aku begitu capek dengan sikap cuek suamiku itu. Dia terlalu kaku untuk ukuran seorang suami. Hingga akhirnya, munculah Genta. Sosok yang mungkin selama ini aku butuhkan.
Meskipun hanya berhubungan lewat chat, bahkan tanpa saling sapa dalam suara, Genta begitu memperhatikanku. Dia bahkan paham akan hal-hal kecil yang sering kali aku lakukan. Genta membuatku menjadi orang yang sedikit berarti.
[Abang keturunan cenayang, ya? Paham banget apa kegiatanku]
Sebuah pesan balasan aku kirimkan. Laptop sudah menyala sempurna. Bukannya memulai apa yang menjadi tujuanku, aku justru sibuk menatap layar ponsel dan berharap segera mendapat balasan.
[Tak perlu waktu lama untuk mengenalmu. Bahkan dari obrolan-obrolan kita pun, aku tahu kamu orang Seperti apa. Dan aku suka]
Lagi dan lagi Genta berhasil menerbangkanku. Entah memang aku yang gampang terbawa perasaan atau memang aku merasakan ketulusan dari tiap ketikan lelaki itu. Aku tak paham.
Maheswari dan Batari, memang orang yang sama, tapi mereka adalah dua kepribadian yang berbeda. Bagi Genta atau siapa pun teman di dunia maya, Maheswari adalah sosok yang ceria, ramah dan orang yang begitu asyik diajak bercanda.
Tak hanya Genta, banyak sekali teman literasi yang mengakui bahwa bicara dengan sosok Maheswari selalu menyenangkan. Pintar mencari topik dan tentu saja pandai mencairkan suasana. Andai saja mereka tahu bagaimana seorang Maheswari di dunia nyata.
Batari adalah wanita yang begitu pendiam bahkan cenderung penurut. Tak terlalu banyak tingkah dan mungkin juga tergolong lemah lembut. Entahlah, setidaknya ini yang aku tahu dari penilaian orang-orang di luar sana.
Bagaimana satu orang mempunyai karakter yang berbeda? Aku sendiri tak mengerti. Setidaknya, aku begitu menikmati menjadi sosok Maheswari. Apa yang tak bisa kulakukan di dunia nyata, aku bisa mengekspresikannya di dunia maya.
[Benarkah? Suka aku apa suka sifatku?]
Balasan sedikit menggoda aku kirimkan pada sosok yang tak pernah kutemui itu. Memang hanya lima bulan, tapi Genta benar-benar berhasil membuatku nyaman.
[Aku suka semua yang ada pada dirimu]
Tanpa tersadar, kaki di bawah meja kuhentak-hentakkan, persis seperti anak kecil yang kegirangan karena diberi permen. Sudah gilakah aku? Mungkin saja. Gila karena cinta maya.
"Belum selesai?"
Ponsel di tangan terjatuh begitu saja. Aku menoleh ke arah Mas Abhi yang tiba-tiba saja sudah berada di belakangku. Dia menatapku dengan dahi berkerut, mungkin heran dengan tingkahku.
Bagaikan orang yang ketahuan selingkuh aku gugup bukan main. Mas Abhi membungkukan tubuhnya, hendak meraih ponselku yang terjatuh tepat di bawah kakinya. Namun, saat hampir tergapai, aku buru-buru meraihnya dan menyimpannya ke dalam saku daster yang kukenakan.
Dahi Mas Abhi makin berkerut.
"Belum, Mas. Mas Abhi tidur lebih dulu saja kalau sudah ngantuk," potongku cepat.
Sengaja aku mengalihkan perhatian agar lelaki itu tak bertanya macam-macam. Lelaki itu tersenyum lantas mengangguk.
"Mas capek banget, hari ini banyak pekerjaan. Kamu jangan begadang."
Sebelum pergi, lelaki itu sempat mengusap pucuk kepalaku. Dia tersenyum lantas berlalu menuju kamar.
Sepeninggal Mas Abhi, kurebahkan punggungku di sandaran kursi. Kuraih ponsel yang ada di dalam saku dan mendekapnya di dada. Lega sekaligus merasa bersalah. Entah sampai kapan kebohongan ini akan terus berjalan.
Sejujurnya, aku tak berniat berada di situasi seperti ini. Awalnya, aku merespon Genta hanya untuk bercanda saja, tapi siapa yang sangka aku justru terjebak di dalamnya.
Dosa ini, terlalu manis untuk aku hindari.
Kisah ini, terlalu indah untuk aku tinggalkan.Aku membuka layar ponsel yang telah terkunci. Sebelum kembali membuka pesan dari Genta, aku sempat menoleh ke arah pintu kamar. Tertutup. Mas Abhi pasti sudah tertidur.
Aku kembali membuka pesan Genta yang belum terbalas. Kuketikan beberapa kalimat di sana. Tentu saja dengan bibir yang tersenyum lebar.
[Terima kasih sudah selalu ada untukku]
Aku atau cinta yang kalah nanti? Entahlah, biar saja takdir Tuhan yang akan menjawabnya nanti. Untuk kali ini, biarkan aku menikmati apa yang sudah terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PATGULIPAT (Selingkuh Virtual)
RomansaMenjadi penulis membuat Batari dekat dengan akun penulis laki-laki. Berawal dari diskusi literasi, kedua teman maya itu akhirnya bertukar hati. Beberapa bulan menjalin hubungan, Batari sadar bahwa kini dia benar-benar jatuh cinta. Hanya saja, hubung...