[01]

639 94 25
                                    

♪- .°‐Symphony‐°. -♪

Udara pagi — yang katanya khas Jogja — menyapa paru-paru Jeno dengan ramah. Pemuda yang baru saja terbangun setelah melakukan perjalanan super menyenangkan dengan hadiah tambahan yaitu encok pada tulang belakang segera membuka jendela kamar yang dia tempati.

Rumah sederhana milik Budhe-nya — kakak perempuan dari sang ayah — yang kini sedang menemani Pakdhe dinas di luar kota sudah bagai rumah sendiri.

Terakhir ia berkunjung, halaman rumah ini — sangat — penuh dengan berbagai macam bunga karena Pakdhe-nya doyan mencari kesibukan yang berurusan dengan makhluk hidup warna warni itu. Dan sekarang, halaman itu sudah benar-benar jadi hutan bunga.

Di sana bunga, di sini bunga, dimana-mana pasti ada bunga. Entah setan maniak bunga dari daerah mana yang merasuki Pakdhe-nya. Jeno hanya sanggup tersenyum seperti logo Kumon.

"Jen, gue mabok kereta deh kayaknya."

Suara dengan nada melambai nan gemulai membuyarkan hitungan Jeno terhadap 'Hutan Bunga Pakdhe Siwon'.

Jeno memutar matanya malas. Lebay batinnya. "Dasar kismin."

Si Hwang mengibaskan rambut pirangnya dengan kesal lalu berkacak pinggang. "Idih? Keran lo? Sok iye banget ni lonte satu! Nak baywan eee?!"

"Lo juga lonte ya! Gak usah ngelonte lontein orang dong! Ngajak berantem?!" Ucap Jeno dengan nada kesal.

"AYOK SINI MAJU! DASAR LONTE!"

"LO JUGA LONTE!"

♪- .°‐Symphony‐°. -♪

Sepanjang jalan mencari makan, mereka berdua masih saling senggol-senggolan. Memberi tatapan penuh permusuhan sambil bergumam 'dasar lonte' satu sama lain.

Jeno berjalan mendahului Hyunjin. Menuntun keduanya ke warung makan Gudeg yang masih cukup sepi.

"Makan, nggak?" Tanya Jeno pada Hyunjin yang hanya melongo menatap warung makan itu.

"Ihh masa pagi pagi makan gudeg, sih?! Gue maunya American breakfast!"

"Udah siang goblok. Amerikan brekpes amerikan brekpes, gue lolotin juga nih Swallow ke congor lo."

Dengan cepat, Jeno menarik temannya masuk dan memesan makanan karena demi Tuhan perutnya sudah keroncongan dari semalam.

Sembari menunggu, keduanya melakukan kegiatan ala anak Gen Z. Mengecek saldo Dana, membuka Shopee, memasukkan barang ke keranjang, dan menutup aplikasi itu.

"Selama di sini, kita mau ngapain?" Tanya Hyunjin sambil mengecek keranjang belanjanya.

Jeno mengelus dagunya tanda berpikir. "Gue mau—"

"Eh bentar, daddy gue nelpon." Ucap Hyunjin memotong perkataan Jeno.

Yang lain mengangguk saja, pria tua itu tak boleh diabaikan. Bisa-bisa saldo mereka kering keronta karenanya.

Sembari menunggu sang teman selesai menjawab telepon, Jeno melihat ke sekitar. Tidak ada yang menarik kecuali jam Antangin yang mirip dengan miliknya di kosan.

Ah, dia jadi rindu ikan asin di kulkas. Kira-kira ikan asinnya aman atau tidak ya? Apa sudah ludes oleh penghuni kosan yang lain? Ck! Harusnya ia bawa saja sekendil ikan asin itu kemari!

"Budhe! Sambel goreng krecek setunggal!"

Suara besar dengan aksen medok itu membuat Jeno menoleh. Hanya penasaran, tidak lebih. Bertemu tatap dengan mata seorang lelaki dengan rambut acak adul, kaca mata yang satu kacanya copot, tindik telinga dengan berbagai macam bentuk, jaket Levis lusuh, kolor pendek kotak kotak, dan sendal Dior KW yang seketika membuatnya terdiam.

Orang gila mana nih?

♪- .°‐Symphony‐°. -♪

Jalanan Malioboro siang ini tak seramai yang Jeno bayangkan. Mungkin faktor langit mendung yang mendukung lenggangnya daerah ini. Setelah pertemuan dengan pemuda yang ia anggap gila, Jeno tertawa dalam diam. Lebih tepatnya menertawakan ekspresi pemuda tadi. Cukup jadi hiburan pertama di tempat ini.

Kini dia berjalan sendirian. Ya, sendirian. Teman seperjuangannya itu menunggu di rumah. Katanya, 'Aduh sorry ya, abis makan gudeg perut gue kayaknya bermasalah deh. Jadi emm gue gak bisa temenin lo you know mengeksplor tempat ini. Jadi... bye Jen.'

Memang bangsat manusia itu. Dasar bocah prik.

Samar samar bau hujan sudah memenuhi paru-paru si Taurus. Baunya sama saja dengan Ibu Kota. Sama-sama bau knalpot bercampur dengan tanah basah. Tak heran, Jogja tak pernah sepi pengunjung. Entah dari ujung dunia mana, Jogja tetap jadi destinasi wisata kegemaran.

Sepanjang jalan, gerimis mulai datang. Sedikit mengacaukan suasana hati si pemuda mata segaris. Dengan cepat dia mencari tempat berteduh. Sebenarnya hujan-hujanan itu mengasyikkan tapi Jeno tak mau terkena demam karena air hujan yang sudah berbeda dari waktu dia kecil.

Pelataran kios sembako jadi tujuannya. Duduk selonjor dengan tangan yang terlipat di depan dada. Memandang langit yang kian deras menurunkan tetesan air. Pikirannya melayang ke kejadian di warung gudeg.

Jujur saja, pemuda tadi sedikit, hanya sedikit memikat perhatiannya. Maksudnya Jeno tak pernah bertemu orang seaneh ini, kecuali Hyunjin, dia memang aneh dari lahir jadi Jeno tak tertarik membahasnya. Tapi pemuda itu berbeda dalam artian pesonanya yang berbeda.

Kalau kita abaikan cara berpakaian dan rambut gulali itu, mungkin dia adalah lelaki tampan dengan kulit kecoklatan yang seksi? Hei, jangan berpikir kalau seksi itu mesum ya!

Jeno hanya... kalian tau, sedikit yeah suka dengan kulit eksotik. Dan mungkin jika rambut gulali itu sedikit disisir rapi atau ditata dengan sedemikian rupa, dia jamin pemuda gila itu akan lebih tampan.

Seketika Jeno menggeleng keras. Untuk apa sia memikirkan pemuda itu? Juga, mereka baru pertama kali bertemu. Sungguh tidak penting. Sangat tidak penting untuk dipikirkan. Ayo berhenti memikirkan pemuda itu Jeno! Ayo berhenti!

Jeno membuang napas pelan berharap bayang-bayang pemuda itu segera pergi dari pikirannya dan mendongak berniat menatap langit, mengecek apakah hujan masih cukup deras untuk dia lewati atau tidak.

Dan wah mungkin dia harus pergi ke terapis sekarang. Wajah pemuda itu ada di depannya sekarang. Bagaimana mata itu berkedip dan deru napas yang terdengar begitu nyata hingga Jeno tak tau ini fana atau bukan.

Gimana kalo gue pegang? Pegang angin gak papa kali ya? Gak ada orang juga, gak bakal lah gue dianggap gila karena pegang angin.

Tangannya terulur menyentuh rambut gulali berantakan itu. Wah apa ini perkembangan dari sebuah imajinasi? Hebat! Rambut gulali ini bahkan terasa nyata!

Kalo gue jambak bisa gak ya? Coba aja deh.

Dengan satu tarikan yang cukup keras, suara melengking menyadarkan Jeno. "ADUH MAS! KOK RAMBUT SAYA DIJAMBAK?!"

Huh?!

♪- .°‐Symphony‐°. -♪

Haloooo!:D
Maaf ya kalau anehㅠㅠ
Ps : aku lupa kalau punya iniㅠㅠ jadi baru update sekarangㅠㅠ

Symphony; HYUCKNO [DISCONTINUE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang