Hiruk pikuk orang-orang mulai terdengar lagi setelah technical meeting usai dilaksanakan.
William membawakan silabus untuk [Name] yang baru saja ia ambil dari ruang panitia. "Ini materi yang akan dibahas selama pelatihan nanti."
"Pasti bakal ada kombinatorika, kan?"
"Iya. Mereka ingin kita lebih fokus pada aljabar, kombinatorika, geometri, dan teori bilangan. Kamu sudah terbiasa dengan hal-hal itu, kan?"
[Name] mengernyitkan keningnya. "Lah saya kan anak matematika, Prof. Hal begini sudah jadi makanan sehari-hari."
"Good." William mengangguk. "Aku disuruh menemui ketua panitia, kamu bisa masuk kamar dulu."
"Kita ga sekamar, kan?" Batin [Name] sembari menatap William.
"Kita tidak sekamar. Kamu tidak lupa kan kalau pernikahan kita itu private dan tidak ada orang yang tahu selain keluarga besar? Tenang saja." Tambahnya sembari memberikan kartu akses kamar hotel.
"Baik. Maaf, saya sempat panik."
William tersenyum lalu berbalik hendak meninggalkan [Name]. Namun ia kembali. "Oh, karena pembelajaran tatap muka di mulai besok pagi dan kita baru akan perkenalan nanti saat makan malam, apa aku boleh minta tolong padamu siang ini?"
"Umm, sure?"
William menyerahkan kunci mobilnya pada [Name]. "Ada satu file yang harusnya keberikan pada kakakku, tapi aku tidak bisa siang ini. Bisakah kau yang mengantarkannya padanya?"
"Kantornya di SCBD, kan?"
William mengangguk lalu pergi. "Filenya sudah ada di mobil. Hati-hati, ya."
[Name] membanting pintu mobil berwarna putih itu keras-keras dengan perasaan kesal dalam rongga dadanya.
"Enak banget ya tinggal suruh ini suruh itu. Tapi mending sih daripada harus denger cemoohan orang lain. Julid amat orang Indonesia sekarang, kek udah jadi yang paling bener aja!!" Umpatnya.
Singkatnya, sesaat ia tiba di kantor perusahaan milik Kakak Iparnya itu timbul masalah lain.
"Maaf, Nona tidak bisa memganggu Tuan Albert di jam ini." Ujar Sekretaris pribadi itu.
"Saya disini diminta oleh Prof. William. Kumohon aku hanya sebentar saja."
"Sekali tidak bisa tetap tidak bisa, Nona."
[Name] menghela napasnya lalu berbalik untuk pergi, tapi bukan [Name] namanya jika harua menyerah tanpa adanya perlawanan. Ia secepat kilat balik lagi lalu membuka paksa pintu ruang CEO itu—tidak, mari kita ralat menjadi bukan membukanya melainkan lebih ke mendobraknya.
🔊 Lightning strike strike to my heart, oh, yeah. I got all the feels for sure. Yeah I got all the feels for ya, yeah.
🔊 Boy, I, boy, I, boy, I Know. I know I got the feels.
"Kyaaahhh~ Mbak Jihyoooo~ Saranghaeyo~" Teriak gemas pria bermanik emerald itu.
"Whut?"
Deg! Entah mengapa seluruh dunia [Name] mendadak runtuh setelah melihat seorang Pria dewasa berusia 27 tahun itu asyik fangirling dengan membawa lightstick Twice ditangan kanannya.
Albert yang baru sadar [Name] masuk ruang kerjanya itu mendadak membeku. Dengan canggung ia menutup PC miliknya dan segera menyimpan lightstick itu di lacinya.
"Maaf, apa ada yang bisa kubantu [Name]? Kau tidak berkelahi dengan Liam, kan?"
[Name] yang tak menjawab apapun itu mengambil ponselnya dan menekan salah satu nomor disana. "P-Pak, ma-maksudku, Liam, ka-kakakmu..."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband is Prof. Moriarty
FanfictionMasa Muda digadang-gadang menjadi masa keemasan dan masa nakal setiap anak manusia dimana mereka bisa menjadi diri mereka tanpa ada hal yang mengusik. Namun berbeda dengan [Name] [Lastname]. Anak kuliah berandal terlalu banyak akal yang masa mudanya...