Hate That ...

20 7 12
                                    

Jam menunjuk pukul sembilan malam. Suasana kamar yang tak pernah berubah membuatku cepat bosan. Tetapi, aku juga terlalu malas untuk beranjak.

Memang belum terlalu larut, namun rasanya bagiku malam ini sangat sunyi senyap. Bahkan kepakan sayap serangga dari luar pun bisa kudengar. Dentuman musik di tempat sebelah sangat cukup bergema. Hingga deburan ombak yang tak pernah sekalipun membiarkanku tuli.

Kali ini tubuhku sangat lelah. Membutuhkan energi lebih, tetapi bukan makanan. Aku tidak tahu apa itu.

Seharian ini aku hanya diam di villa, menonton acara membosankan, berjemur dibawah langit teduh—tidak panas, tidak mendung—kemudian mengisi perut dengan mie sampai pipiku bengkak.

Aku tidak bisa memasukan makanan lagi. Perutku seperti ingin meledak bersamaan dengan perasaanku yang kacau.

Kemarin pagi Saros mengirimkan ku pesan lagi. Kali pesan yang tidak terlalu klise namun tetap membuatku kesal.

Saros
Maaf soal itu. Aku tidak bermaksud membuatmu marah. Aku hanya ingin menyapamu saja.

Saros
Aku tahu, kau selalu membaca pesanku meski tidak pernah dibalas, aku akan terus mengirimkan mu pesan. Aku tidak mau hilang kontak.

Saros

Aku dengar kau menetap di villa. Villa mana? Akan kubawa kan banyak makanan saat mampir.

Saros
Kalau bosan dan butuh teman, datang saja ke Hades Resort & Hotel.

Saros
Luna, sekali-kali tolong balas pesanku agar aku tahu keadaanmu.

Aku tertawa membaca pesan terakhir beberapa jam lalu. Memukul bantal sebagai pelampiasan meski tidak ada yang lucu dari pesannya.

"Astaga, aku ini kenyang tapi ingin mengunyah terus."

Beranjak dari kasur ke sofa yang menghadap pintu kaca yang menampilkan langit malam. Apel merah yang menggoda menjadi santapan terakhir malam ini. Tanpa dikupas, aku langsung melahapnya.

"Hidupku ...." Punggungku seolah memiliki magnet yang selalu tertarik oleh benda dibelakang, aku bersandar sambil mendongak melihat langit-langit ruangan. "Kacau. Sangat kacau. Lebih dari lima balon yang meletus. Seperti diporakporandakan oleh badai Katrina yang mengerikan."

Dengan setengah apel di tangan kanan, aku terlentang diatas sofa dengan mata tertutup. Lelah tidak pernah angkat kaki dari tubuh kecil ini. Dia seperti benalu yang terus membuatku sakit dan berantakan.

Namun tidak lama, dering ponsel dan ketukan pintu terdengar bersamaan. Aku menoleh pada pintu putih gading dan ponsel diatas nakas yang terus menampilkan panggilan masuk.

Aku mengerang sebal menuju pintu dan menemukan orang yang tidak aku harapkan kehadirannya malah muncul.

"Aku pikir kau keluar dan meninggalkan ponselmu. Ternyata kau—"

"Ada apa? Aku tidak menerima tamu asing, terutama pria," potongku cepat. Ingin segera mengakhiri pertemuan.

Leo menggaruk tengkuknya. Ia terlihat tersenyum malu-malu. "Begini. Hmm ... Malam ini tidak ke mana-mana kan? Boleh aku mengajakmu keluar?"

Paper HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang