Semua ini dimulai dengan kata-kata ini :
"Kamu mau nggak, ikut Olimpiade lagi? Bareng saya?"
Hendra melihat mata Ahsan melebar – baik umur 20 ketika dia masih junior yang masih penuh kekaguman akan seniornya, ataupun sekarang ketika dia sudah berumur 30 dan seorang atlet berpengalaman, cara mata Ahsan melebar ketika terkejut masih saja sama.
Mau nggak, San? Mau nggak, kita coba bersama? Yuk, kamu keluar dari sini bareng saya.
Kita pergi ke Olimpiade, saya dan kamu.
Dia menatap mata bulat Ahsan lekat-lekat, dan mengulurkan tangannya. Dan di dalam hati kecilnya terdalam, Hendra yakin bahwa Ahsan akan menyambut ajakannya.
*
Pada akhirnya, memang mereka berhasil ikut Olimpiade – tapi tidak berhasil membawa medali apapun.
Hendra mencoba untuk melihat kekalahan ini secara objektif – bahwa ya, tidak dapat dihindarkan atlet-atlet muda akan mengejar mereka dengan cepat. Walaupun dia berjanji ke Ahsan bahwa mereka akan memenangkan medali, Hendra sebenarnya memulai pertandingan Olimpiadenya mencoba untuk realistis dan tidak terlalu berharap. Apalagi, seperti halnya anggota tim Indonesia yang lain, sebelum Olimpiade mereka tidak punya banyak kesempatan untuk mengikuti turnamen-turnamen sebagai ajang pemanasan.
Tetapi seiring dengan kemenangan demi kemenangan yang mereka raih di penyisihan grup dan perempat final, harapan akan medali semakin meningkat, dan begitu mereka berhasil menapakkan kaki di semifinal, kobaran harapan itu sudah sulit untuk diredakan kembali.
Mungkin, kekalahan yang menyebabkan mereka gagal mendapat medali perunggu ini lebih menyakitkan daripada kegagalan untuk bisa bertanding di final.
Ia menghela nafas panjang. Pertandingan mereka sudah selesai berjam-jam yang lalu, namun bagaimanapun dia memutar otaknya, Hendra tidak mampu menjelaskan bagaimana mereka bisa kalah di pertandingan yang sebetulnya cukup mereka dominasi hingga pertengahan babak kedua. Koh Herry berkata, take it easy, Hen, jangan terlalu dipikirkan. Kekalahan itu hal biasa dan nanti mereka bisa me-review kembali rekaman pertandingan mereka sekembalinya mereka ke Jakarta.
Tapi, walaupun begitu, kekalahan ini masih mengganggu benaknya, dan kalau saja dia tipe orang yang melakukan hal semacam itu, rasanya dia ingin meneriakkan semua kekesalan dan emosinya ke hamparan air Odaiba Marine Park. Tapi itu bukan karakternya, dan akhirnya, Hendra hanya menghela napas entah untuk keberapa kalinya, mencoba mengeluarkan kekesalannya bersama nafas yang dihembuskannya.
"Koh!"
Suara memanggilnya dari belakang, dan Hendra berbalik tepat pada waktunya untuk melihat Ahsan melemparkan sebotol minuman ke arahnya. Untungnya refleksnya masih sangat baik, dan ia menangkap botol tersebut dari udara, sambil melirik ke arah Ahsan yang tersenyum lebar kepadanya.
"Nice catch, Koh," kata Ahsan dengan santai, sambil berjalan ke tempat dimana Hendra berdiri.
Hendra menatap botol minuman dingin yang ia genggam. Sebotol teh hijau jepang dingin. Ah, seandainya dia bisa meminum bir yang benar-benar dingin. Tanpa sadar ia mengatakan itu keras-keras, tapi Ahsan hanya mendengus dan melambaikan tangannya. Yah, Hendra memang tahu Ahsan tidak akan pernah membelikannya bir, tapi, untuk alasan yang tidak sepenuhnya ia pahami, Hendra rasanya ingin merajuk.
Seandainya, dia bisa merajuk, ngambek seperti anak kecil lagi.
Jemarinya membuka tutup botolnya, sementara dari ujung matanya dia melihat Ahsan bersender di sandaran besi di sebelahnya. Tiba-tiba, Hendra teringat bahwa Ahsan hanya akan minum ketika duduk, dan serta merta dia menarik pasangannya itu ke salah satu bangku yang banyak terdapat di plaza tersebut. Plaza yang luas itu saat ini sangat sepi, seiring dengan semakin larutnya malam – hampir tidak ada orang selain mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fireflies - a HS x MA Oneshot Collection
General Fiction(Bahasa Indonesia & English) Koleksi fanfiction oneshot - angst, fluff, drama, semi-canon, AU. Semua oneshot di sini tersedia dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, kecuali oneshot dengan rating Dewasa, yang hanya tersedia dalam bahasa Inggris :...