Chapter 4: Buah dari Petaka

301 65 32
                                    

Chapter 4
Buah dari Petaka

Frekuensi kunjungannya ke kuil Himegami semakin hari kian meningkat. Naruto memutuskan untuk secara terang-terangan menentang ayahnya dengan melanjutkan ke Institut Sains dan Teknologi Nara. Di akhir pekan, dia akan sengaja meluangkan waktu mendaki gunung Wakakusa. Singgah ke kuil sebentar dan bermalam di kediaman Hyuuga. Mengabaikan bebatuan yang menjulang, seolah menolaknya datang.

Gadis yang merupakan avatara Himegami, merasa bahwa dia tidak bisa terus menerus seperti ini. Dia tidak bisa membiarkan Naruto mengunjungi Himegami. Dia harus mengingatkan Naruto untuk meninggalkan Himegami jika tidak ingin memberikan lebih banyak pengorbanan. Namun, harus dari mana?

Mengingat, Himegami tidak selamanya bisa dikelabuhi. Termasuk hilangnya sebagian ingatan Naruto.

Dia tidak ingin membiarkan Naruto mengingat masa kecil mereka yang kelam. Malam di mana pernah ada darah di tangan mereka.

Dia ingat betul, bagaimana Naruto kecil yang terseok-seok setelah menusuk Ko; ajudan ayahnya, Hyuuga Hiashi. Naruto marah pada seseorang yang telah mengurungnya di sana. Padahal, sesungguhnya, itu adalah pelampiasan rasa frustrasi, dendam dan amarah. Naruto membunuh untuk kesenangannya sendiri, tetapi berdalih kalau itu adalah bentuk balas budi.

Mereka melalui hari-hari tanpa adanya perhatian atau harapan. Satu-satunya yang memeluk mereka adalah kegelapan, ke dalam pusaran kelam di mana tidak akan pernah ada jalan keluar. Mereka adalah dua anak manusia yang sengaja ditinggalkan agar menyongsong kematian.

Ada hari di mana dia sendiri merasa sedih melihat keadaan Naruto. Hingga dia akhirnya mengiba pada Himegami untuk menghapus ingatan anak itu, dan mengirimnya pergi ke lembah.

Mereka bertemu di pertengahan musim gugur, dan pada akhirnya berpisah ketika gugusan putih di angkasa meluruh.

.

Sang Avatara sekali lagi mengiba,

Meminta restu untuk bertatap muka dengannya, sang pemeluk sukma.

Tidak masalah meski itu hanya sekejap saja.

.

Malamnya, dia duduk di pinggir kolam. Menatap pantulan wajahnya di atas air yang beriak. Menunggu. Menekan jemarinya bergantian.

"Akhirnya kau datang juga, Nona." Naruto tersenyum samar, mendekat ke arah kolam, memastikan kalau gadis itu tidak lari ke mana-mana seperti terakhir kali.

"Aku tidak tahu apakah kau ini hantu atau manusia, tapi bolehkah aku bertanya? Siapa namamu?"

Sukma gadis itu bergetar, termaktub sempurna dari bulan di matanya yang menyamar.

"Hinata."

Naruto tersenyum, mengeja nama itu jauh di dalam hati. Mencocokkan setiap kepingan ingatan yang singgah setiap malam. Entah bagaimana pun dia memikirkannya, mereka serupa.

"Kau kah itu?"

"....?!"

"Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"


Hinata menggeleng.

"Kenapa aku merasa aku sudah mengenalmu sejak lama?"

"Itu hanya perasaanmu."

"Tidak. Kau bohong," Naruto menghakimi. "Kau selalu menjadi pembohong ulung. Tidakkah kau merasa bersalah karena terus membohongiku-Hinata?"

Guilty FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang