9 || Di Tengah Sarapan

3.5K 489 63
                                    

| 9 |

DI TENGAH SARAPAN



DANES BERKONTEMPLASI APAKAH keputusannya untuk pulang dan menginap di rumah orangtuanya adalah keputusan yang tepat. Niat awalnya adalah untuk menemui sang ayah dan bicara langsung terkait keputusan dari Dewan Komisaris, serta membicarakan rencana ke depan. Menemui wanita asing yang ditolong ibunya bukan bagian dari rencana. Ditambah lagi, barangkali dia terlalu sibuk dua bulan belakangan. Terlalu sibuk hingga tubuhnya stres dan memutuskan untuk menumpahkan air mani lewat bunga tidur.

Dia tak paham kenapa ini terjadi kepadanya. Apa karena tadi malam, dia sempat mendengar suara batuk-batuk kencang dari kamar mandi sebelah? Berhubung kamar mandi yang dipakai Edreya bersebelahan dengan kamar Danes. Wanita itu terdengar seperti memuntahkan sesuatu ke wastafel. Apa karena itu Danes jadi memikirkan Edreya sebelum tidur hingga terbawa mimpi?

Tapi pagi ini, setelah Danes melepas seprai, berganti baju, dan menuruni tangga, dia berhadapan dengan objek mimpi basahnya. Edreya melihatnya dekat tangga, tengah membawa segelas jus buah, lalu mengangguk singkat. "Sarapan, Danes."

Danes ikut mengangguk, anehnya tak merasakan malu. Mungkin dia tak memiliki kapasitas untuk merasakan hal itu. Memangnya apa yang memalukan dari reaksi normal tubuh setelah menerima rangsangan? Manusia jelas butuh rangsangan untuk bisa bereproduksi.

Dia sudah mandi dan berpakaian untuk pergi ke kantor. Hari ini masih hari kerja. Dia akan pergi naik motor dan pergi dengan jaket kulit, baru mengenakan setelan kerja di ruang kantornya agar tak tercium bau asap kendaraan.

Di meja makan, semua orang sudah duduk di kursi masing-masing. Dia yang terakhir datang. Kursi yang tersisa adalah di sebelah Edreya. Danes tak ada pilihan selain duduk di sana.

"Kalian kira-kira bakal tinggal di sini berapa lama?" tanya Danes, mengambil sendok-garpu. "Masih lama?"

"Danes...," panggil ibunya, nadanya menegur. Tidak ada omelan secara langsung. Rania hampir tak pernah memarahi anaknya di depan orang lain. Tapi, Danes selalu bisa membedakan perbedaan emosi dalam ucapan sang ibu. Teguran itu mengisyaratkan bahwa ada yang salah dari ucapannya—walau Danes tak tahu persis apa yang salah.

Dan, seperti yang sudah diajarkan keluarganya, dia harus bertanya jika memang tidak paham. "Apa pertanyaan saya nggak sopan?" Danes bertanya ke Edreya. Dia mengingat-ingat daftar ucapan tambahan yang harus dilontarkan agar memberi kesan baik. "Saya minta maaf kalau pertanyaan saya menyinggung."

Edreya menatapnya. Diam-diam menyimpan rasa heran dan curiga. Dia tak menangkap emosi apa pun dari Danes saat mengucapkan kalimat terakhir. Wajahnya memang terlihat ada raut menyesal, tapi dia tak merasakan ketulusan emosi di sana. Tak ada penyesalan atau kepedulian. Danes hanya bicara untuk basa-basi.

"Kami nggak lama. Saya pagi ini juga bakal cari tempat tinggal lain," jawab Edreya, lalu melirik Darius sejenak. "Tapi, sampai lusa, mungkin saya harus titip Darius dulu di sini. Maaf merepotkan kamu dan keluargamu."

"Saya nggak merasa direpotkan." Danes mengambil lauk ke piring. "Toh, saya juga bakal balik ke rumah saya sendiri. Kita nggak bakal ketemu lagi."

Mereka pun melanjutkan sarapan. Diam-diam, Danes mengamati cara Edreya makan. Tak ada kegugupan atau kehati-hatian, tapi juga tak ada gerakan serampangan dan impulsif. Cara makannya tenang dan natural. Duduknya tegap. Tangannya menyendok dan mengambil makanan dengan teratur. Gerakan yang sudah senaturalnya dia lakukan, seperti hasil kebiasaan bertahun-tahun. Tak ada orang biasa yang makan dengan cara seperti itu. Orang kaya pun belum tentu makan dengan cara demikian. Tata krama dalam jamuan makan butuh disiplin harian yang kemudian melekat menjadi gerakan alami.

Sarhad (Bisai #2)  | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang