Kutip 04 | "Benci"

6 2 5
                                    

Dulu maupun sekarang, benci adalah kata yang mustahil aku sematkan dalam lisanku. Tapi aku tidak berjanji jika suatu hari kata itu terucap dan tertuju padamu.

¦◼◻◼¦

Masih di tempat yang sama namun di ruangan yang berbeda, seorang pemuda kini tengah menatap kekasihnya dengan penuh puja, senyumnya lembut dan tercetak jelas di wajahnya. Melihatnya begitu pasti semua orang akan berpikir "Bucin".

Begitulah adanya, pemuda itu yang tidak lain tidak bukan adalah Zan tengah menjenguk sekaligus menemani kekasih barunya, Pingka. Tepat setelah pertengkarannya tadi dengan Zie, Zan memilih bolos kembali dan langsung mengendarai motornya menuju rumah sakit, menemui pacarnya yang tadi pagi dilarikan ke rumah sakit karena alergi udang.

"Kakak yakin baik-baik aja?" tanya Pingka tiba-tiba ketika dia teringat kembali saat Zan berteriak pada Zie di telepon.

Zan menatap Pingka, "Aku baik-baik aja." jawabnya pendek.

"Seharusnya Kak Zan gak boleh gitu sama Kak Zie. Siapa tahu telepon tadi penting, kan?"

"Sepenting apapun itu, kamu tetap yang lebih penting buat aku." Zan malah menggombal disaat Pingka tengah menasehatinya.

Pingka yang mendengar gombalan itu tak urung membuatnya tersipu malu. Dia mencubit pelan lengan Zan, "Apaan sih Kak. Pingka lagi serius nih!" ujarnya kesal dengan pipi yang memerah. Ceritanya sih untuk menutupi rasa malunya.

Zan terkekeh ringan melihat respon Pingka yang seperti itu, "Iya, iya maaf. Lagian aku sama Zie udah biasa kayak gitu kalo lagi berantem. Jadi gak usah khawatir, besok juga pasti kita udah baikan. Zie paling gak bisa marah lama-lama sama aku."

"Kalo Kakak gimana?" tanya Pingka.

Zan mengerutkan dahinya tidak mengerti, "Maksudnya?"

"Kalo Kakak gimana? Bisa marah lama-lama sama Kak Zie juga nggak?" jelas Pingka.

Zan terdiam. Bingung harus menjawab apa. Pikirannya berkelana mengingat kembali semua pertengkarannya dulu dengan Zie. Mulai saat mereka masih kecil sampai sekarang, pertengkaran mereka teringat jelas dalam benak Zan. Setelah di ingat kembali, ternyata mereka sering bertengkar hanya karena perkara kecil, seperti permen yupi siapa yang lebih dulu habis, atau seperti film apa yang harus mereka tonton pertama.

Tapi kadang mereka juga bertengkar karena perkara besar, yang mungkin saja bisa sampai melukai hati mereka masing-masing, seperti saat Zan yang tidak sengaja mengejek Zie karena tidak punya Mama, atau saat Zie yang mengatainya banci karena suka boneka dan selimut barbie. Semua itu tidak menjadi masalah serius bagi mereka, karena dirinya maupun Zie tidak pernah bisa marah berhari-hari.

Zan ingat, ternyata bukan hanya Zie saja yang tidak bisa berlama-lama marah, tapi dirinya juga tidak bisa berlama-lama marah pada Zie. Karena Zie adalah sahabatnya, bagian lain dari hidupnya, serta kebiasaannya, sama seperti dia biasa bernafas maupun berkedip. Semua hal mereka lakukan bersama.

Mengingat hal itu entah kenapa hati Zan berdenyut nyeri ketika teringat saat dirinya meninggalkan Zie yang tadi menangis dan dalam keadaan sakit. Penyesalan menghantam dirinya karena baru menyadari kalau dia telah melukai sahabatnya, apalagi saat Zan teringat jari tangan Zie yang penuh dengan luka goresan waktu dia akan mengambil tas darinya. Ahh, Zan benar-benar menyesal. Rasanya dia ingin berlari dan cepat pulang untuk memeluk Zie-nya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 27, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kutitip dalam KutipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang