1. Awalan

6 0 0
                                    

Happy reading
Mirror, 2022.

.
.
.

Kemeja dan rok yang penuh darah, jas almamater ku yang sobek sana-sini, serta wajah, lengan dan kakiku penuh dengan lebam-lebam tentu membuat bunda histeris dan berteriak khawatir ketika aku menginjakan kakiku di ruang tamu. Namun sejujurnya, aku tidak tahu itu omelan khawatir atau memarahiku.

Kemungkinan memarahiku, karena memang selalu seperti ini.

Lagipula, tidak ada seorang ibu yang mengekspresikan kekhawatirannya dengan menampar anaknya sendiri.

PLAK!

Pipiku memanas, bersamaan dengan mataku yang kini mulai berkaca-kaca. Dengan segala sisa tenagaku, aku menahan air mataku agar setidaknya, tidak menangis di hadapan bunda.

Ga boleh nangis Rei, ga boleh lemah. Lu yang salah, ga boleh playing victim.

"Bunda udah bilang, jangan suka ikut tawuran! Kamu itu perempuan, keluarga kita menjaga kehormatan kamu, kenapa kamu merendahkan diri sendiri hah?! Murahan! Sadar ga kalo keluarga kita keluarga terhormat? Malu-maluin keluarga, beda banget sama kakak-kakaknya! Lihat aa dan teteh kamu, semuanya banggain bunda—"

"Gaada yang seperti Rei. Iya tau, bunda. I'm sorry, okay? Bunda gatau Rei berantem gara-gara apa, jangan marah-marah dulu."

Lantas aku berlari ke lantai atas, buru-buru masuk ke kamarku hingga aku tak sadar menabrak kakak keduaku yang sedang memegang gelas.

Ia yang kutabrak hanya berteriak nyalang, namun tak kupedulikan.

"KOPI GUA TUMPAH ANJ—"

Tanpa mempedulikan kakakku, aku lantas membanting tubuhku ke kasur, setelah membuka kemeja dan rokku yang berlumuran darah, menyisakan celana pendek dan kaus oblong.

Kakakku—yang biasa kupanggil A Ekal lantas masuk ke kamar, dan menjatuhkan dirinya di sebelahku.

"Heh kutu kuda, tawuran lagi ye lu?"

Aku mendengus pelan, lantas berjalan keluar menuju kamar mandi.

"Bacot a." Ucapku seraya membalikkan badanku.

"Gara-gara apa lagi?"

Aku menghela nafas.

"Adkel gue dikatain alay gara-gara punya trauma sama jarum suntik."

A Ekal terkekeh pelan, "gila tu sekolah, yang begituan kok dikatain alay."

"Ya, gue tau. Mereka yang sakit mental, tapi gue yang dikatain sama bunda."

Suasana sempat hening beberapa saat, hingga aku membalikkan tubuhku kearah A Ekal dan bersuara.

"Kenapa bunda ga pernah percaya sama gue ya?"

"Karena lu ga bisa di percaya."

"Yeah, i made a mistake. Everyone made a mistake. Gara-gara satu kesalahan itu, bunda ga percaya sama gue sampe sekarang? Bunda selalu bilang, 'buktiinlah kalo kamu bisa dipercaya' tapi semua yang gue lakuin, bunda selalu mandang gue negatif,"

Aku berhenti sejenak untuk mengambil nafas.

"Sekotor itu ya gue di mata bunda?"

A Ekal hanya diam, memandang lurus langit-langit kamarku. Ia tau ada yang salah dari pemikiranku dan didikan bunda padaku, namun ia tak berani berkomentar apapun, karena ia sendiri tidak tahu harus berbuat apa.

Aku lantas menghela nafas.

"Iya, gue salah. Bunda ga salah, emang gue yang ga bisa dipercaya, durhaka, ga guna."

Mirror [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang