3. Leader Alluenza

4 0 0
                                    

Happy Reading
Mirror, 2022.
.
.
.

Jamkos? Ya tidur. Itu semboyanku. Apa lagi yang bisa dilakukan saat jamkos? Bermain dan berteriak seperti orang bodoh? Menyetel musik dj remix keras-keras sampai membuat kepala pening? Atau yang lebih parah lagi, belajar dengan giat dan fokus tanpa memedulikan sekitarnya yang ricuh—berisik oleh suara teriakan anak-anak bodoh dan suara musik—seperti Nathan? Aku mungkin bisa gila.

Begitupun yang terjadi dengan teman sebangkuku—Valle, seorang primadona sekolah sekaligus sahabatku. Ia tengah sibuk berkutat dengan buku cetak sosiologinya, mengingat kami ada ulangan sosiologi sehabis istirahat makan siang.

Aku membalikkan tubuhku kearah Valle dengan posisi yang sama—kedua tangan dilipat di meja dan dijadikan bantalan—posisi favorit seluruh siswa Indonesia dari sabang sampai merauke, bahkan mungkin seluruh dunia. Rambut pendekku yang di potong model bob asimetris kusut berantakan entah bagaimana lagi bentuknya.

"Weh, lu daritadi sibuk bener. Ga pusing emang?" Ujarku basa-basi, menyindir anak-anak sekelasku yang malah makin mengeraskan volume spiker membuatku ingin melempari benda kotak berwarna hitam itu dengan sesuatu agar ia diam.

"Gue gabisa kalo lagi senggang ga ngapa-ngapain. Noh, yang laen juga pada ada kerjaan walaupun cuma naik turunin volume spiker. Emang elu,"

Haha sialan, dia malah menyindirku. Aku terkekeh pelan sambari memperbaiki posisi menjadi duduk tegak, lantas meninju lembut pundaknya.

"Gue juga ada kerjaan kali. Kerjaan memburu ayam kampung di mimpi, seru weh. Ayamnya slow mo jadi gue gampang nangkepnya." Ujarku canda sambari mengelap asal air liur di dagu menggunakan punggung tangan—setengah risih dengan liur yang mengering, setengah tidak peduli.

"Kerjaan-kerjaan matamu, mending lu bersihin dulu iler lu noh. Jorok bener anying," Valle melemparkan sabun cuci muka dan tepat mengenai wajahku. Aku hanya tertawa lantas berusaha memeluk Valle dan menciumi pipinya—menertawakan reaksinya yang menjerit ketakutan terkena air liurku.

Tak memedulikan Valle yang mengelap pipinya berkali-kali dengan tisu basah—mungkin ia akan mandi kembang setelah ini—aku berjalan menuju toilet terdekat. Membasuh mukaku dengan air setelah menggosokkan facial foam Valle ke wajahku hingga berbusa.

Perutku yang sedaritadi berbunyi sedangkan waktu jam makan siang masih lama, membuatku mau tak mau berjalan ke minimarket sekolah di lantai satu—cukup jauh dari kelasku di lantai lima.

"Hai Rei."

Aku menoleh sesaat setelah itu tersenyum simpul.

"Hai Ndre, kelas lu jamkos juga?" Tanyaku.

Andrean hanya mengangguk sambari memerhatikanku memilih makanan ringan.

"Nih, cobain dah. Snack favorit gua. Enak banget sumpah," Jengah melihatku yang lama memilih makanan ringan, Andrean akhirnya menyodorkanku sebuah popcorn rasa caramel. Aku menerima snack itu dengan kening berkerut heran. Rasa favoritku, caramel.

"Ah, thanks but, bukannya lu gasuka caramel ya?"

Andrean terdiam sebentar lantas tersenyum canggung. "Ah, iya emang, cuma kemarin Vodka nyaranin gua buat makan ini. Katanya yang gasuka caramel pun bisa suka ini, pas nyobain ini, gua jadi sadar kalo ga semua caramel rasanya pait, hehe."

Aku hanya mengangguk pelan. Ah, begitu.

"Caramel yang asli emang pait, Ndre. Ini mah dibikin manis biar bisa dimakan anak-anak aja." Ujarku simpul seraya menaruh snack ringan di meja kasir, bersiap untuk di scan.

"Langkah selanjutnya yang bakal lu ambil buat anak-anak sebelah apaan?" Ujar Andrean membuka percakapan seraya berjalan keluar dari minimarket.

"Ga kapok-kapok mereka?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mirror [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang