They don't know about us

471 58 6
                                    

⚠️CW: mention of suicide thoughts

Tidak sekali ini Renjun mendengar cemoohan dari keluarga besarnya, 'menikah muda dengan Jeno seorang bajingan yang bekerja sebagai pesolek, hanya akan memakan hati'.

Tidak jarang juga Jeno mendengar cemoohan dari staff agensi maupun sesame rekan kerjanya yang diam-diam berbisik, 'kau tahu istrinya? Ren siapapun itu, pasti tidak jauh-jauh dari lelaki penggoda lain yang hanya memanfaatkan Lee Jeno'.

Namun, semua itu hanya mereka balas dengan senyuman tipis yang sarat akan kegetiran.

Bahkan tak jarang juga Renjun akan menutup telinga Chenle ataupun Jisung berusaha menghalau.'They don't know about us' hanya kata itu yang mampu Jeno dan Renjun bisikkan satu sama lain di penghujung hari.

Mereka telah berjanji akan membagi beban satu sama lain, maka saat cemoohan-cemoohan itu menghiasi rungu dan benak mereka akan saling mendekap erat. Tangan besar hangat Jeno akan mengusap lembut mahkota sewarna madu milik Renjun, dan tak jarang Renjun akan terisak merasa muak, lelah, marah, tidak adil dengan segala penghinaan dan pandangan sepihak orang lain tentang keluarga kecilnya.

Tujuh tahun yang lalu, Kun hanya mampu memperingatkan Renjun bahwa keluarga besarnya tidak akan menyetujui keputusannya untuk berhubungan dengan Lee Jeno, alasannya mudah saja. Lee Jeno terlahir untuk hingar bingar dunia hiburan.

Bagi keluarga besar konservatif Renjun, bekerja di dunia hiburan sangat menjijikkan tak jauh beda seperti penjilat. Yah, walaupun Kun 100% mendukung keputusan Renjun.

"Kau bahkan tidak tahu Renjunie, berapa banyak produser wanita yang telah dipuaskan oleh Lee Jeno untuk mencapai posisinya sekarang," nasihat bibinya kala itu.

Jika saja Kun tidak menahan Renjun, bisa dipastikan tamparan bertubi-tubi akan menghampiri wanita ini.

Keluarga besar ini bahkan hanya datang padanya ketika usia Renjun dan Kun sudah legal, yang mana bisa menerima warisan kedua orang tua mereka yang entah bagaimana caranya memiliki porsi paling besar dari peninggalan kakek dan neneknya.

Hell! Mereka bahkan tidak memiliki sumbang sih apapun dalam aspek kehidupannya, dan seenaknya menghina Jeno, laki-laki lembut dan penyayang yang pernah Renjun kenal.

Renjun ingat betul awal mula mereka bertemu, melihat laki-laki tegap itu melangkah ringan hendak melompati teralis rooftop sekolah.

Renjun tahu dia siapa, dia Lee Jeno. Seorang anak terlarang yang 'dijual' oleh ibunya pada media massa. Renjun hanya mampu melihatnya,

"Haruskah aku melompat?" tanya Jeno kala itu, tanpa perlu menoleh ke belakang.

"A... aku tak tahu. Apa kau butuh teman?"

"Teman? Kau pikir aku percaya apa itu teman? Setelah semua desas-desus itu?"

"Maksudku, teman untuk melompat," terang Renjun, kini Jeno berbalik dan menatapnya heran.

"Kau aneh,"

"Yah mau bagaimana. Kakakku sepertinya tidak peduli denganku, dia meninggalkanku, keluargaku hanya datang untuk menagih uang warisan. Bukankah lebih mudah jika aku melompat juga," Ya, Renjun merasa hampa. Hingga rasanya semua penghambat kehidupannya akan pergi jika dia pergi menyusul ayah ibunya.

"Bukankah suaramu tadi bergetar, kenapa sekarang berlagak ingin mengakhiri hidup juga,"

"Well, katakan itu pada dirimu sendiri, katakan pada orang yang hanya mampu berdiri tapi untuk melompat saja harus bertanya," ucap Renjun final. Keduanya terkikik geli dengan konyolnya kehidupan mereka. Ketika tawa mereka telah terhenti, kedua pasang mata itu saling bertemu, menyelami masing-masing dan merasakan kelelahan, kepedihan dan kegetiran.

"Ayo melompat bersama suatu saat nanti," ajakan Jeno yang terjawab oleh kekehan kecil dan seulas senyum manis Renjun.

Sejak saat itu banyak hal yang terjadi, mereka semakin dekat. Tak jarang Jeno menginap di flat Renjun karena merasa jengah dengan kumpulan reporter yang ingin meliput ibunya dan menyeretnya sebagai 'bumbu' drama rumah tangga yang bahkan Jeno tidak mengerti.

Ada saatnya ketika Renjun lelah dengan segala tuntutan keluarga besarnya, dia akan terisak dan bersandar pada Jeno. Ada saatnya pula Jeno putus asa dengan segala embel-embel 'anak terlarang', dia akan mendekap Renjun dengan air mata yang tak berhenti mengalir.

Ketika mereka telah sama-sama lulus dari sekolah akhir. Renjun memutuskan Jeno tinggal permanen dengannya. Renjun menjalani kuliahnya, Jeno mulai meniti karirnya. 

Tak selamanya juga hubungan mereka hanya penuh dengan saling mengobati, mendekap dan tertawa. Ada kalanya mereka bertengkar dan saling memaki satu sama lain pada tahap ini. Dengan jadwal Jeno yang mulai memadat, Renjun yang mulai acuh dengan segala afeksi karena tugas yang mengalihkan pikirannya.

Pertengkaran paling besar yang pernah mereka lewati, Jeno tidak pulang berhari-hari. Tapi tetap saja pada akhirnya mereka menemukan jalan kembali pada satu sama lain. Menyesali dan menangisi betapa bodoh dan dangkal sekali pikiran mereka ketika bertengkar.

Jika ada hari mereka bertengkar (berdebat), mereka tertawa dan tersenyum lembut satu sama lain. Maka ada hari ketika mereka berdua saling terbuai nafsu, menghabiskan malam panas dengan mendesahkan nama satu sama lain dan merintih puas. Melepaskan 'pita' yang melilit dalam perutnya.

Dan tepat dua tahun mereka hidup bersama seutuhnya, hadirlah kehidupan lain dalam tubuh Renjun. Renjun pun masih ingat Jeno menangis tergugu setelah melihat dua garis yang terpampang nyata pada testpack yang Renjun sengaja letakkan di wastafel pagi itu. Jeno memeluk perutnya erat dan mengecup lembut bibir merah Renjun perlahan, takut jika Renjun kehabisan napas. Bahkan Jeno tak henti-hentinya melingkarkan lengannya pada pinggang mungil Renjun, protektif setelah dokter berkata bahwa ada dua kehidupan lain dalam tubuh Renjun.

Mengabarkan pernikahan mereka pada dunia dan keluarga besar Renjun, adalah hal sulit lain yang kini menghadang. Segala sumpah serapah dari berbagai pihak Jeno terima, segala caci maki ditujukan pada Renjun. "Aku ingin melompat bersama sekarang, tapi aku tak ingin mereka sakit juga Jeno" malam itu Renjun menumpahkan kepedihan kesekian kalinya yang hanya mampu disambut dengan lelehan air mata Jeno. Mereka hanya keluarga kecil yang ingin berbahagia.

Namun, agaknya Tuhan berpihak pada mereka, Kun yang selama ini hanya mampu berlari dan meninggalkan adiknya untuk menjalani beban tuntutan keluarga konservatif mereka, kembali memberikan dukungan penuh terhadap kebahagiaan adiknya. Teman-teman kerja Jeno yang sangat mengenalnya dan baik padanya merekomendasikan namanya di berbagai acara televisi. Kehidupan mereka mulai membaik dan makin membaik kala tangisan bayi kembar yang merah, mungil, menangis keras setelah berpuluh-puluh menit Renjun habiskan untuk membuat entitas mereka nyata.

"Baba apakah appa masih lama dalam kotak itu?" tanya Chenle, "Appa ayo keluar!" sungut Jisung sambil mengetuk-ngetuk layar televisi di ruang tengah.

"Sabar ya, pukul delapan tepat appa sudah akan tiba disini sayang," ucap Renjun lembut seraya menggenggam tangan Jisung yang mengepal memukul layar televisi.

"Kapan itu jam delapan baba?" tanya Jisung heran, "Aigoo Jisungie, itu saat jarum yang panjang itu di angka delapan" jawab Chenle dengan bangga.

"Pintarnya Lolo, tapi teeet salah bukan jarum panjang sayang," kekeh Renjun.

"Uh Jisungie tahu, itu itu jarum pendek iyakan baba? Iyakan? Jisungie pintar juga kan?" tuntut Jisung.

"Dingdongdeng, betul! Jisungie juga pintar seperti Lolo" jawab Renjun disertai kecupan pada kening Chenle dan Jisung, "Appa pulang!" teriakan pemberitahuan dari arah pintu depan sontak membuat kedua anak kecil itu berlarian menyerang appa-nya.

Hati Renjun menghangat untuk entah keberapa kali, pemandangan ini selalu terulang. Dan Renjun tidak pernah lelah menikmatinya.

***

Baca ini afdolnya emang dengerin national anthem noren si guys
Soalnya pas nulis ini tuh aku puter terus-terusan tuh They Dont Know About Us

Dive Into YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang