"Eh? Ke puncak?"
Laki-laki itu mengangguk. "Ayahku kebetulan akan keluar kota, jadi dia menyuruhku menjaga Vila. Bosan juga kalau aku sendirian yang berjaga." tuturnya.
Remaja-remaja yang baru saja menginjak bangku SMP itu terlihat berpikir sejenak.
"Baiklah. Tapi kami harus membicarakan ini dengan orang tua kami dahulu." ujar salah satu diantara mereka. Semuanya mengangguk, kecuali gadis berkursi roda tersebut.
"Aku tidak bisa ikut, maaf ya Mitsuki." celetuknya. Asistensi keenam remaja itu beralih, wajah mereka mengisyaratkan bahwa apa alasan gadis itu menolak.
"Kenapa? Kalo U-chan tidak ikut, akan ada yang kurang nanti." Mitsuki memutuskan untuk bertanya.
"Aku takut merepotkan kalian dengan keadaan yang begini." U-chan berbicara sembari menatap kakinya yang sudah tak bisa ia gerakan untuk sekarang.
Sebelumnya ia tidak seperti ini. Kecelakaan di atas jembatan dekat dengan kuil merenggut saraf-saraf yang ada di kakinya. Ia mengalami kelumpuhan, walaupun hanya sementara namun itu mematahkan semangat gadis tersebut.
Butuh waktu hampir 2 tahun untuk ia bisa berjalan lagi, itu juga jika U-chan rajin-rajin melakukan terapi setiap minggunya.
"Tenang saja, ada aku." Lelaki berambut kuning itu tertawa sombong.
"Justru kita akan lebih khawatir jika kau yang menjaganya." celetuk Shikadai, pemuda malas berambut nanas, diiringi anggukan semua orang. Si kuning itu berdecih.
"Kita berdua saja. Lagian U-chan itu perempuan, sama seperti kita."
"Tidak usah repot-repot, Sumire."
"U-chan, kamu juga teman kami. Jangan sungkan-sungkan meminta tolong."
"Ah baiklah baiklah jika kalian memaksa seperti ini."
****
Udara terasa dingin. Musim dingin di dataran tinggi memang menyebalkan, mereka bisa-bisa membeku. Oh sepertinya mereka masih hangat-hangat saja seperti tak peduli dengan suhu dingin disekitarnya.
"Aku melihat berita, katanya malam ini salju turun." celetuk Chocho, remaja perempuan berbadan besar.
"Eh serius? Aku harus menyiapkan pemanas dulu, kalian main saja." Mitsuki segera masuk menyiapkan penghangat ruangan untuk malam nanti.
"U-chan! Main kuy disana." Gadis itu menatap temannya sejenak lalu mengangguk. Kursi roda itu di dorong pelan, laki-laki itu enggan untuk membuka percakapan.
"Oh iya Boruto-san, Sumire sepertinya menyukaimu."
"Eh siapa? Kau menyukai aku?" Boruto dengan antusias berdiri di depan U-chan. Tak segan-segan, U-chan menjitaknya.
"Aku bilang Sumire, bodoh!" katanya.
"Ah, aku kira itu kau." Sembari mengelus kepalanya yang terasa sakit, Boruto juga mengomel habis-habisan. U-chan berdecih. Ia hanya menatap pemandangan kota yang mulai berwarna putih di bawah sana.
"Lagipula, kita masih kelas 1 SMP. Aku tidak terlalu tahu tentang cinta-cinta begitu." U-chan mengalihkan pandangannya. Tatapan mereka bertemu, wajah lelaki itu memerah dengan sendirinya.
"Eh kau kedinginan? Wajahmu merah."
"Heh? Apaan, tidak kok."
"Bohong. Lalu kenapa mukamu ada bekas memerah begitu?"
"Itu anu... Emmh... Ish kepo!"
"Cih, kalau bukan karena kedinginan ya sudah aku tidak terlalu mempedulikan itu."
Boruto terkekeh geli. Dia merogoh saku jaket tebalnya, mengeluarkan suatu kotak. U-chan yang penasaran, langsung bertanya.
"Apa itu?"
"Bom. Ya hadiah lah. Tutup matamu."
"Buat aku?" tanya U-chan sumringah. Boruto mengangguk, lalu menginstruksikan U-chan untuk menutup matanya.
Gadis itu menurut saja, ia merapatkan kelopak matanya. Tengkuknya terasa dingin.
"Kalung?" tanyanya lagi, dia masih menutup matanya.
"Buka matamu sekarang."
Kalung dengan liontin perak bergambar huruf S. U-chan keheranan, bandul itu agak lain dari namanya.
"Kok hurufnya S? Ini untuk Sumire?"
"Tidak, itu untukmu."
"Hah?" U-chan masih tak faham.
"S untuk Sarada Uchiha. Aku akan berhenti memanggilmu U-chan setelah ini."
✵✵✵
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarada-san
Fanfiction【END】 . . . . "I can't stop." Pertemuan di atas bangunan sekolah itu adalah hal pertama yang tidak akan Boruto lupakan. Entah apa alasan takdir mempertemukan keduanya. Gadis raven berkacamata itu memang aneh, ia selalu mencoba bunuh diri dari gedu...