AKU tanpa sadar mencibir saat Inge membawa laki-laki itu, lagi, di meja ini. Seperti jadwal kami biasa, sepulang kantor di hari Jumat, kami berkumpul di tempat nongkrong untuk sekadar melepas penat. Pertama, kami adalah budak cuan yang hanya mengatakan iya kepada atasan. Kedua, kami semua memiliki beban kerja yang melebihi orang lain, seolah EGI-perusahaan tempat kami bekerja, akan bangkrut jika kami tak bekerja.
"Anjrit Si Arief! Masih aja nge-WA gue jam sebelas malam begini!" Gumilang mendongkol, dia setengah mabuk. Tampaknya udah nggak sadar dengan apa yang diucapkannya. Wajahnya memerah.
Aku tersenyum miring. Mengejek. Seolah-olah dia tak pernah dihubungi jam dua pagi saja!
Dia kembali mengumpat saat ponselnya berbunyi, yang sangat mengundang gelak tawa kami semua.
Domas turut terkekeh disampingku, tangannya dengan ringannya memeluk bahuku-yang tentu saja langsung kutepis begitu saja. "Demi bonus akhir tahun, Lang. Angkat aja!"
"Betul!" Stevy menimpali dan tersenyum manis pada Gumilang. Maklum saja, mereka sudah pendekatan selama setahun. Entah alasan apa hingga saat ini mereka belum jadian, lagipula kupikir mereka berdua sangat cocok bersama.
Mataku terpaku pada sosok laki-laki yang dibawa Inge itu. Dia bukan anak baru juga sih, sudah sembilan bulan bekerja disini. Aku dan Altheo-si anak baru, memang sering bertemu saat meeting bersama. Namun, aku nggak terlalu mengenalnya. Kami hanya sekadar sapa kalau bertemu.
Tanpa kuduga, sorot matanya beralih pada mata hitamku. Kami hanya bersitatap beberapa detik sampai aku melongo karena dia tiba-tiba pindah duduk disampingku. Lengan bawah kami bersentulan.
"Hai!" Sapanya kikuk. Lagi-lagi canggung.
Aku tersenyum simpul. "Tumben lo mau gabung sama kami?"
Dia terkekeh renyah, suaranya berat. Seksi. "Inge bawel banget dari kemarin."
"Oh."
Kemudian kami kembali saling diam. Kami memang sering bertemu, tetapi nggak pernah mengobrol akrab. Jadi, sekarang benar-benar terasa asing. Aku ganti mengamati teman-temanku yang tengah menambah minum ke gelas masing-masing.
Sejujurnya, aku sudah nggak ingin minum karena mulai merasa pening. Besok ada rapat penting bersama para bos yang nggak boleh kulewatkan. Kecuali aku ingin nggak punya pekerjaan bulan depan.
"By the way-" Domas kembali bersuara, aku menoleh pada lelaki itu. "Bentar lagi akhir tahun, kira-kira siapa diantara kita yang akan jadi kandidat Best Employee, menggantikan gue?" ujarnya benar-benar terlalu percaya diri.
Oh shit. Aku meremang. Setelah menjadi mantanku, Domas ternyata benar-benar menggelikan.
Semua orang kemudian menoleh padaku.
"Apa?" Tukasku galak.
"Windy masih ambis tahun ini kayaknya," Gumilang tertawa.
"Sialan!" Balasku nggak terima. Mereka kembali mengejekku karena setelah bertahun-tahun selalu menjadi runner up Best Employee. Tim hore istilahnya. Aku ada hanya untuk meramaikan penghargaan nggak penting itu, biar semua orang deg-degan dan mengira-kira siapa yang akan menjadi Best Employee pada tahun itu. Bagaimanapun, aku sering menjadi wajah perusahaan kami untuk wawancara atau talk show. Jadi, mereka semua menganggap aku adalah kandidat terkuat. Sayangnya aku nggak pernah mendapatkan penghargaan itu dan selalu menjadi pendamping Si Best Employee dari tahun ke tahun. Domas salah satunya.
Karena tadi aku menanggapi dengan galak, nggak ada lagi yang berani membahasnya atau melanjutkan ejekannya.
Lagi-lagi, aku nggak sengaja melirik ke arah Altheo yang tersenyum tipis. Dia yang tadinya menunduk langsung menyadari bahwa aku tengah meliriknya. Saat mata kami bertemu, dia menghentikan senyumannya.
"Ndy," tatapannya menjadi begitu serius. Aku terperangkap. Aku sedikit mengangkat alis untuk menetralkan sebuah desir aneh dalam dadaku. Sesuatu yang hadir saat mata kami bersirobok ... desir halus yang menggangguku saat dia memandangku begitu dalam seperti ini.
"Nanti lo pulang bareng—?"
"Kenapa?" Aku memotong, sebelum merasa semakin tenggelam dalam jelaganya.
Dia berdeham, masih tampak canggung. "Kita searah. Mau pulang bareng gue?"
Tanpa sadar aku melirik ke arah Inge yang tentu saja nggak mendengar pembicaraan kami berdua. Mengembalikan pandangan pada matanya, ternyata Altheo masih menatapku lurus-lurus.
Aku mulai kebingungan. Nggak mungkin aku nggak mengerti dengan ajakannya barusan. Setiap kali bertemu, Altheo selalu berusaha mengajakku mengobrol untuk sekadar basa-basi. Biasanya, aku menghindarinya karena nggak mau berurusan dengan Inge.
Sayangnya, aku nggak mau berpikir dulu malam ini. Jadi setelah beberapa detik, aku memutuskan untuk mengangguk. Wajahnya berubah menjadi sumringah. Pikirku, daripada pulang bersama Domas dan menerima gombalan nggak mutunya ... lebih baik aku pulang bersama Altheo.
Kuanggukkan kepalaku lagi. "Oke," aku menjawab lebih tegas.
Mungkin... inilah awal dari segalanya. Satu anggukan yang mengubah hidupku. Malam itu, aku nggak hanya mengizinkan Altheo mengantarku pulang tapi juga mempersilakannya membuka pintu agar dia masuk ke dalam hidupku.
Lebih dalam. Lebih dalam.
Author's note
Jarang banget ngga sih aku bikin author's notes di prolog begini hehe. Tapi karena kita semua udah tahu jalan ceritanya dan bagaimana akhirnya, aku mau bikin pemberitahuan awal.
So, ini pemberitahuan awal, aku tahu cerita ini bukan untuk semua orang.
Aku akan upload ATWB secara rutin setelah revisi (sepertinya lagi-lagi slow update, karena kita semua udah tau endingnya ✌🏻).
KAMU SEDANG MEMBACA
As The Wind Blows
RomanceAwindya Kaila Zamara sudah capek pacaran dengan laki-laki di kantor yang sama. Selain sudah di-cap playgirl, Windy juga salah satu topik paling menarik di kantornya. Tapi, nggak ada yang bisa menyangkal bahwa ia memiliki kecantikan dan juga pintar...