Fear

11 2 0
                                    

"Kamu siap?" tanya seorang laki-laki yang duduk disampingku sejak lebih dari 10 menit lalu. Tangannya yang sedari tadi menggenggam tanganku pun belum ia lepaskan. Masih erat, melekat.

Sudah 10 menit lebih, perempuan cupu ini tidak berani melangkahkan kakinya memasuki aula besar tempat pesta itu. Berkali-kali menimbang, memperkirakan dan menyiapkan hati untuk kemungkinan-kemungkinan kecil yang belum tentu terjadi. Tapi justru kemungkinan kecil itu yang sangat perlu diwaspadai. Pikirku.

"Ayo." Ucapku yakin tak yakin. Joshua, laki-laki tadi tersenyum seakan memberiku kekuatan dan kenyamanan. Seperti yang biasa ia lakukan.

Pesta pernikahan teman lama memang akan selalu menjadi kejutan dan tantangan. Apalagi teman SMA? Percaya atau tidak, kamu tidak akan pernah tahu siapa yang akan kamu temui di pesta itu, dan apa yang akan mereka bagikan kepadamu. Entah cerita masa lalu yang lucu, cerita baru yang seru, atau pertanyaan-pertanyaan yang selalu menyudutkanmu. Itulah yang aku khawatirkan saat ini, bagaimana jika aku menemukan salah satu ataupun semua dari yang aku sebutkan tadi.

Kedatanganku dan Joshua disambut oleh teman-teman lama kami. Dari pintu masuk saja, sudah terlihat bagaimana hebohnya teman-teman SMA kami itu. Tanpa ragu, Joshua menuntun langkahku untuk bergabung bersama mereka. Joshua tak ragu, tapi aku iya.
Dari tadi, mataku tak henti-hentinya mencari sesosok manusia yang sangat aku hindari. Walaupun kemungkinan ia ada disini sangat kecil, entah ia ada di pesta ini atau tidak, dan entah kenapa aku ingin melihat sosok dirinya untuk memastikan. Dia tidak ada.
Setidaknya itu yang aku lihat saat ini.

Layaknya sebagaimana teman yang lama tak bertemu, Joshua terlihat senang berbagi banyak cerita dengan teman-temannya. Senyum dan tawa tak pernah hilang dari wajahnya, seperti biasanya ia.
Begitupun aku, perlahan aku mulai menenangkan diri dan mengurangi tingkat kewaspadaanku. Semuanya sama, tidak akan ada apa-apa. Setidaknya itu yang aku ucapkan pada diriku.

Entah sejak kapan, aku sudah tidak bersama Joshua. Aku memandanginya dari kejauhan, ia masih terlihat sama seperti tadi. Bagaimana bisa, seorang manusia bisa selalu tersenyum dan sepositif itu?
Sedetik kemudian aku melihat jam di layar ponselku, 8.15pm. Masih cukup awal, tapi aku sudah sangat lelah ditambah lagi masih ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan. Aku tak bisa berada di keramaian dalam waktu yang lama.

Aku berjalan mendekati Joshua, mengatakan padanya kalau aku harus pulang.

"Kalau begitu, ayo kita pulang." ucapnya.

"Tidak, biar aku pulang sendiri. Kamu lanjutkan saja sama yang lain." Ucapku meyakinkan Joshua.

"Beneran?"

Aku mengangguk, sekali lagi meyakinkan Joshua kalau aku bisa pulang sendiri. Aku harus memberinya waktu untuk lebih lama bertemu dengan teman-temannya.

"kalau tidak, bareng si Io aja." celetuk salah satu teman berhasil mengejutkanku. Arka, pemeran utama dalam pesta pernikahan ini. Aku menandainya.

Aku menatap Joshua, begitupun Joshua sebaliknya.

Dia disini?

"Tadi katanya Io juga mau balik, ini dia lagi jawab telfon." sahut teman lainnya. "Tuh dia." lanjutnya menunjuk seseorang dari arah belakangku.

Aku berbalik, mendapati sosok manusia yang sejak awal menjadi kekhawatiranku sedang berdiri dengan wajah tak kalah terkejutnya dari aku.

"Gapapa deh, aku balik sendiri aja." Elakku pada teman-teman yang merekomendasikanku untuk pulang bersama Io tadi.

"Gapapa lah Rin, sama temen juga."

"Io, Kirana juga mau balik tuh. Bareng kamu gapapa kan?" Ucap Arka lagi.

Kulihat, Io hanya mengangguk mengiyakan. Bahkan disaat seperti ini dia hanya menyetujui semuanya.

Sunyi.

Tak ada yang bersuara setelah itu. Lalu beberapa detik kemudian, laki-laki yang tak banyak bicara itu akhirnya bersuara.

"Ayo." Ucapnya.

Aku mematung. Menatap Joshua dalam-dalam. Berharap dia memberiku bantuan, atau setidaknya dukungan.
Joshua kembali menatapku. "Gapapa Rin." Ucapnya dengan tersenyum. Bukan itu yang aku harapkan.

"Hati-Hati ya Io!" Ucap Joshua pada Io.
Joshua menepuk bahuku pelan. "Udah saatnya kalian bertemu." Ucapnya padaku, lagi-lagi dengan tersenyum.

Terkadang, aku tidak suka senyum Joshua. Senyumnya selalu ia gunakan sebagai topeng. Ia selalu terlihat seperti baik-baik saja dengan semuanya, padahal kenyataannya mungkin tak begitu.

Dengan langkah berat, kakiku mengikuti langkah laki-laki tinggi didepanku ini. Entah sejak kapan, sosoknya sudah berubah menjadi pria berpostur tinggi dan gagah. Jauh berbeda dari 7 tahun lalu. Namun, dia tetaplah orang yang sama. Sadarku.

.
.
.
.

"Gak perlu repot-repot, sampe halte depan aja." Ucapku memecah keheningan dalam mobil.

"Gak repot." Jawab Io seadanya. Mau diapakan lagi, dia adalah Julian Io Wardana. Laki-laki yang terkenal paling irit ngomong dari sejak dulu kala. Berdebat dengannya pun tidak ada gunanya, karena dia akan melakukan apapun yang dianggapnya benar. Itu Prisipnya.

Tapi ini tidak benar. Gak seharusnya aku bertemu dengannya, apalagi duduk bersampingan di dalam mobil seperti ini. Ditambah lagi, dia mengatarku pulang? Sungguh tidak benar.

Sejak menit pertama aku terduduk disampingnya, tak sedetikpun aku berani melirik ke arahnya, apalagi menatapnya sungguhan. Begini saja jantungku berdetak dua kali lebih kencang dari biasanya. Dan aku harus tenang didepannya.

"Kamu sama Joshua, jadian?" Dari jutaan pertanyaan yang ada, entah kenapa pertanyaan yang paling tak terduga ini yang pertama keluar dari mulutnya.

"Belum." jawabkku seadanya.

"Berarti akan?"

"Belum tau."

"Kok belum tau?"

"Ga ada yang tau masa depan kan?"

"Iya bener."

Hening lagi.

"Sejak kapan kamu jadi pendiam?" Tanya Io memecah keheningan lagi.

"Sejak kapan juga kamu jadi berani membuka pembicaran?" Tanyaku balik. Memang pada dasarnya, Io tak banyak bicara. Sedangkan aku, manusia yang tumbuh menjadi tak banyak bicara. Banyak penyebabnya, Io salah satunya.

Io terkekeh. Untuk kali pertama aku memberanikan diri untuk menatap wajahnya. Tawa tipis tergambar jelas diwajahnya. Lalu aku tersadar, dia telah tumbuh menjadi manusia yang berbeda dari sebelumnya. Wajahnya tak se-serius dulu. Dia bukan lagi orang yang irit ngomong.

"Rin, semuanya udah beda." Jawab Io. Memang, semuanya sudah berbeda. Tapi dia tetap sama, tetap tenang seperti sebelum-sebelumnya.

"Iya ya." ucapku menyetujui perkatannya.

"Tapi, masih ada yang sama sih."

"apa?"

"ya, ada lah yang sama."

"iya deh." Ucapannya membuat rasa ingin tahuku lebih tinggi. Tapi aku tahu, dia tak akan mengatakannya. Dia suka menyimpan semuanya dalam kepalanya sendiri. Pelit. Tak pernah mau berbagi pikiran dengan orang lain.

Aku kembali melempar pandanganku jauh ke depan. Tak berani menatap Io lama-lama. Takut kalau aku tidak bisa biasa-biasa saja. Berlebihan, katanya.

"Aku dulu jahat banget ya, Rin?" Io berhasil membuat mataku kembali menatapnya.

Aku tidak tahu harus menjawab apa, atau bagaimana. Julian Io yang sekarang, benar-benar di luar dugaanku.
Aku menggeleng. Tak sanggup menjawabnya dengan kata-kata.

"Rin, boleh mampir toko buku bentar gak?" Aku salah. Julia Io memang orang yang tak pernah terduga dari dulu. Hanya saja, sekarang tambah tak terduga.

"Boleh." Jawabku singkat.

HABIT [IF I]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang