Aku berjalan mengekor pada Io. Toko buku adalah salah satu hal yang tak berubah dari Io. Dari dulu, Io tak bisa dipisahkan dengan buku. Io suka membaca, dan karena kesehatan matanya yang sejak kecil kurang baik, Io harus berkacamata.
Tak butuh waktu lama, Io menemukan beberapa buku yang dicarinya.Aku yakin dia sudah merencanakannya. Itulah Io. Dia selalu terencana, tidak sepertiku yang penuh spontanitas.
Setelah membayar bukunya, Io berjalan keluar dari toko buku. Sedang aku, masih mengekor padanya. Sedetik kemudian, Io berbalik badan menghadapku. Menyodorkan bingkisan kecil kearahku."apa?" Tanyaku takut dikira kegeeran.
"Pensil. Kamu dulu suka beli pensil kan?" Jawabnya dengan tertawa kecil. Entah meledekku atau bagaimana.
"Buat apa?"
"simpan aja, dulu kan kalau ke toko buku wajib beli pensil. Anggap aja sajen."
"Aneh-aneh deh." Ucapku menerima pensil itu dari tanggannya.
Io tersenyum. Senyum yang dulu dianggap sangat langka, mungkin sekarang sudah menjadi hal biasa untuknya.
Io tak langsung mengantarku pulang. Katanya, dia masih punya beberapa hal yang harus dibeli dan takut nanti tokonya keburu tutup kalau mengantarku lebih dulu. Aku hanya mengiyakannya, sebagai manusia yang tahu diri karena sudah diberi tumpangan.
Lagi-lagi hening itu datang diantara kami. Pandanganku lurus kedepan, sudut mataku menangkap Io yang sedang menggerakkan jari-jarinya seperti sedang menimbang sesuatu.
Kepalanya pasti sama sibuknya sepertiku. Bohong kalau tidak."Beli bunga, bagusnya dimana ya Rin?" lagi-lagi Julian Io membuka pembicaraan.
"Bunga plastik? Bunga Asli? Bunga Kering? atau Bunga yang masih hidup?"
"Bunga asli, buket." Ucapnya. "nah, itu tuh baru Karina yang dulu."
"heh?"
"ga, gapapa. Jadi, dimana?" Tanya Io lagi.
"kalau di florist hits, mungkin udah tutup sekarang. Kalau mau sekarang ya biasanya di toko bunga deket SMA kita dulu itu."
Julian Io tersenyum lagi. Sepertinya hal ini akan menjadi hal yang biasa nanti. Entah akan ada nanti atau tidak.
"Yaudah, gapapa kita kesana ya?" Tanyanya.
Aku mengangguk mengiyakan.
Tak lama setelah itu, terdengar nada dering yang bersumber dari handphoneku. Nama Joshua tertulis sangat jelas di layarnya.
Aku menoleh ke arah Julian, hendak meminta ijin untuk menjawabnya. Namun, sebelum aku berkata apa-apa dia sudah mengatakannya lebih dulu. "Gapapa, jawab aja." Sepertinya dia menjadi lebih peka.Lantas aku menjawab panggilan dari Joshua.
"sudah sampai rumah?" Tanya Joshua.
"Belum, Julian harus ke toko bunga dulu katanya."
"Oh. Bilang ke dia hati-hati ya. kamu juga hati-hati. Nanti kalau sampe rumah, kabari."
"iya. Hati-hati kok. Kamu sudah di rumah?"
"Belum juga, nanti kalau sampe rumah aku kabari."
"Ok. Hati-hati juga ya."
Panggilan berakhir beberapa detik setelahnya.
"Joshua?" Tanya Io datar.
"Iya." jawabku dengan nada datar sepertinya.
"Hati-hatinya masih banyak banget ya? Ga beda dari dulu."

KAMU SEDANG MEMBACA
HABIT [IF I]
Historia CortaJutaan manusia aku temui setelah menghilangnya kamu dari setiap halaman dalam ceritaku. Namun tetap saja, mereka yang datang selalu mengingatkanku pada bagian yang hilang itu. Dan setiap kali aku mengingatnya, aku nampak seperti manusia bodoh. Aku m...