quatre

0 0 0
                                    

Semalaman aku tidak bisa tertidur tenang. Bahkan aku yang benci pada Aluna pun memeluknya dengan rasa takut seakan aku tidak bisa sendiri.

Aku takut, sangat takut. Aku tidak pernah merasa setakut itu sebelumnya. Aku takut Gian hilang juga seperti Moses, lalu aku harus main dengan siapa?

Bu Maria masuk ke kamar di pagi harinya dengan was-was karena gadis-gadis tertua di panti belum keluar untuk menyiapkan sarapan ataupun bersih-bersih.

"Kalian kenapa?" tanyanya khawatir, berjalan cepat untuk menghampiri aku dan Aluna yang masih saling berpelukan.

Bu Maria mengusap pipiku, mengenai kantung mataku yang melebar dan menghitam. "Kamu kenapa, Heidi?"

Aku menggeleng. Aku malu, tapi aku takut. Aku hanya ingin minum susu hangat segelas lalu kembali tidur di siang hari. Dimana aku yakin, yang aku lihat semalam tidak akan datang ketika hari benderang.

Di luar rumah, Gian menendang-nendang bola ke arah pohon dengan malas. Ia berkali-kali melihat ke arah jendela kamar perempuan. Aku hanya bisa mengintip saja.

Aku harus tidur. Aku berhasil tertidur, setidaknya untuk empat jam.

.
.
.

Gian membawa bola yang sedari siang ia mainkan sendiri. Beberapa teman satu panti lebih suka bermain di dalam rumah daripada di luar.

Tentu saja ini membuat Gian bosan, ia ingin keluar dan mencari Moses. Mungkinkah Moses kabur? Kalau misalkan tangan yang ada di atap kamar mandi itu adalah Moses, ini adalah saat yang tepat untuk kabur.

Gian berjalan ke arah tembok belakang menuju kebun tetangga. Diletakkan bolah itu, lalu ia panjat temboknya. Ia duduk diatas dan menggoyangkan kaki beberapa kali. Pemilik kebun buah itu sedang tidak ada. Jadi mungkin ia bisa mengambil beberapa buahnya.

Ia melompat ke tanah dan berjalan ke arah pohon mangga yang berada di sudut paling jauh dari rumah si pemilik. Di sana ada menara listrik tinggi yang menghubungkan beberapa rumah di daerah sekitar panti.

Mangga-mangga yang sudah matang dan di bungkus plastik itu dipetik. Lalu ia menggunakan bajunya sebagai wadah membawa buah. Kalau muat, ia letakkan di saku kanan dan kirinya.

Tapi ia belum cukup puas hanya dengan mangga. Ia ingin buah lainnya.  Ia melihat pohon rambutan yang buahnya juga sudah matang itu dan berniat memanjat.

Memang Gian ini orangnya seringkali tidak puas ya.

Ia meletakkan mangga-mangga itu di tanah dekat pohon rambutan. Lalu memantau keadaan, apakah ia bisa mepanjat atau mengambil galah untuk memetiknya.

Dan matanya terkunci pada sebuah obyek yang menggantung di menara listrik itu. Terlihat seperti baju yang ia sangat kenal.

Baju Moses yang dipakai sebelum mereka berniat untuk mengambil buah malam-malam.

Around UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang