six

2 0 0
                                    

Semalaman aku tidak bisa tidur. Anak-anak perempuan lainnya mencoba untuk menenangkanku bergantian sampai mereka tertidur di ruang menonton televisi.

Tidak ada yang berani kembali ke kamar dan diam sendirian di sana.

Anak laki-laki pun ikut bergabung di ruang televisi.

Ibu Maria mengajak kami semua untuk berdoa dan saling menggenggam tangan satu sama lain. Semuanya pun memejamkan mata. Mengaminkan apa yang diucap Bu Maria. Lalu setiap anak diberi waktu untuk berdoa, membisikkan apa keinginan mereka.

Disaat kami sedang berdoa, aku membuka mataku dan melihat Gian pergi ke arah toilet. Aku pun mengikuti dibelakangnya.

"Kamu ngapain ikut? Aku kan ke toilet."

"Aku takut kamu mati dan aku nggak punya teman lagi." jawabku cemberut. Jujur saja, aku sangat sedih kehilangan Moses. Tidak mau kalau Gian juga hilang dikoyak oleh sesuatu yang aku belum pernah lihat.

Gian pun menyerah dan membiarkanku berjalan di belakang.

"Tapi jangan ngintip ya!"

"Idih, bau!" Kataku mencibirnya.

Beberapa pekerja bangunan mengganti lampu toilet menjadi terang. Bahkan mereka sedang membongkar keramik temboknya seharian ini. Kami akan memiliki toilet yang enak dilihat. Aku tidak sabar untuk mencobanya jika selesai.

Gian masuk ke toilet laki-laki dan menoleh padaku sinis.

"Nggak masuk deh, aku janji!" ucapku sekali lagi untuk meyakinkan Gian yang masuk dan menutup pintunya.

Lima menit berlalu, aku bisa mendengar senandung dari dalam. Lagunya adalah lagu-lagu yang dulu Ibu Maria sering nyanyikan pada kami. Nyanyian anak-anak itu sudah sangat lama tidak kudengar. Mungkin saat umurku sudah delapan tahun, aku tidak mendengarnya lagi. Kalaupun mendengarkan, itupun Bu Maria sedang menyanyikan untuk yang lebih muda diantara kami.

Aku mulai resah menunggu Gian yang sudah lebih lama dari lima menit di dalam. Lagu-lagunya terulang kembali dari awal dan terus-menerus dinyanyikan seperti tidak ada lagu lainnya.

"Gian!" Aku mengetuk pintu pelan dan berkali-kali, berharap ia kesal dan membukanya.

Namun, tidak ada jawaban.

Aku pun mendorong paksa pintu yang tidak terkunci itu dan melihat kamar mandi yang masih dalam tahap renovasi belum selesai, dengan lampu terang benderang ala tukang bangunan yang tidak dimatikan itu.

Aku mendongak ke kamar mandi ujung yang masih berupa polesan semen yang kering. Tidak ada juga.

Akhirnya aku kembali ke ruang tengah dengan wajah Ibu Maria yang panik dan langsung memelukku.

"Gian mana, Bu?"

Bu Maria menunjuk Gian yang tertidur pulas di ruang televisi berbalut selimut. Ia tampak tak terganggu oleh yang sedang menggumamkan doa.

"Oh... Kok aku nggak liat dia keluar kamar mandi ya?"

"Heidi, dari tadi pun Gian sudah tidur karena mengeluh sakit. Ibu pikir, kamu yang mau ke kamar mandi sendirian." Bu Maria memandangku penuh khawatir.

Bu Maria berkata lagi padaku, "tidak ada yang pergi kemanapun, Heidi. Hanya kamu sendiri tadi. Untungnya kamu kembali selamat. Ibu sudah khawatir karena kejadian ini, nak. Jangan pergi sendiri dulu ya."

Aku mengabaikan Ibu Maria yang kemudian menyuruh anak-anak untuk tidur. Aku mendekat ke arah Gian yang sedikit mendengkur dengan mulut yang agak terbuka. Cukup sulit membangunkan anak satu ini tanpa tendangan.

Setelah ku coba untuk menyentuhnya berkali kali sampai mencabut sehelai rambutnya, aku percaya Gian tidak pergi denganku ke toilet.

Aku memandang ngeri ke arah ujung ruangan dengan lorong gelap yang terasa seakan menatapku dengan seringai lebar yang menyeramkan.

Saat aku mencoba untuk memastikan apakah rasa ini nyata, salah satu anak perempuan menangis tersedu-sedu sambil meringkuk di dekat rak televisi.

Wajah Bu Maria berubah menjadi sedih, tapi juga masih berusaha untuk tetap kuat. Anak-anak lainnya yang masih terbangun pun berkumpul di sudut lain, saling berpegangan tangan. Mereka mulai menggumamkan doa-doa lagi.

Anak yang menangis itu mencengkeram rak kuat-kuat sampai meninggalkan bekas cakaran dan membuat kukunya terkelupas dari jarinya.

Juna bangun dan berlari ke telepon untuk menghubungi Pak Hudi dan Bu Jena. Namun tidak ada jawaban sama sekali. Juna sudah mencoba sampai tujuh kali.

Gian pun terbangun saat anak itu mulai mendongakkan kepala dan meraung-raung.

Tanganku basah berkeringat, aku berjalan mendekati anak itu untuk menanyakan siapa yang ada di dalam dirinya.

Langkah kakiku tidak seperti sempoyongan. Aku ingin terjatuh dan pingsan setiap mengambil langkah. Namun aku sampai juga pada anak utu dan menanyakan apa yang terjadi padanya.

Anak itu meraih-raih tanganku. Wajahnya yang semula ganas, berubah menjadi bisikan minta tolong yang terlalu ngilu bila didengar.

"Kak Heidi..." Bisiknya seperti rintihan pilu. Aku tidak tega.

Kupeluk dia pada akhirnya. "Ana, kamu baik-baik saja. Aku janji, kamu akan baik-baik saja."

Aku memastikan sesuatu yang belum tentu akan terjadi. Entah harus berapa lama kami terjebak di suasana seperti ini. Kedua tanganku sudah gemetaran memeluk Ana, ditambah nyanyian doa yang semakin lama semakin keras.

Bu Maria menenangkan anak-anak yang panik itu. Nyanyian mereka terganti menjadi isak tangis ketakutan.

Di tengah tangisan itu, sebuah bunyi seperti atap ambrol terdengar. Cukup keras sampai Juna dan Mia pun berlari lebih dulu untuk melihatnya.

Sebuah kepala dari anak yang kukenal, tergantung oleh kawat pagar panjang yang menembus dari leher ke ubun-ubun. Bola matanya terlihat putih dengan darah keluar dari kelopak matanya.

Lehernya terpotong agak kasar dan menyisakan kulit yang nampak sepertinya dirobek.

Aluna. Aluna mati lebih dulu ketimbang Gian.

Kupikir malam itu giliran Gian.

Around UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang