Sinar matahari yang menabrak palang besi penyebarangan, memberi kehangatan pada permukaannya. Angin sore menyibak helai helai rambut berwarna ash blue milik arin kebelakang punggung. Gadis itu memandang jalanan kosong di bawah. Sebidang area kosong tidak terawat di pinggir kota Jakarta.
Kalo di tanya alasannya kenapa dia tidak pulang saja ke rumahnya, berendam air panas, kemudian merangkum kembali materi mata kuliah anatomi yang tadi pagi dia pelajari- gadis itu tidak pernah tau. Dia juga tidak pernah tau setelah setengah jam menikmati angin sendirian, seseorang yang memenuhi pikirannya justru muncul seperti yang selalu terjadi, kebetulan."AGA?!!"
Yang ini bukan kebetulan yang membuat mereka hampir bertabrakan di koridor sekolah seperti adegan film remaja, bukan juga bertemu di satu kafe yang sama padahal ada ratusan kafe di pusat kota, dan kebetulan kebetulan lain yang sama klisenya.
Aga meledak lagi, Jemari Aga mencekeram kerah baju lawannya, Aga mendorongnya kasar, satu pukulan keras mendarat di rahangnya, menendang perutnya, membanting ke tanah menimbulkan bunyi derak mengerikan. Aga menariknya untuk bangkit, langkahnya menginjak kaca mata lelaki itu tanpa ragu.
"GA, STOP!!" Arin akhirnya berhasil mengeluarkan suara, tapi Aga mendorongnya ke belakang. Jemari Aga menggenggam pergelangan tangan Arin agar sahabat kesayangannya tidak sampai jatuh ke belakang.
"Diem! Lo gatau apa apa!" Sentak aga. Kepala Arin menoleh ke sahabat kecilnya. Jantung Arin serasa sudah lompat dari tempatnya. Dia tidak bisa merasakan aliran darahnya lagi. Tangan dan kakinya kebas. Jemari Aga masih mencekram erat pergelangannya dan Arin sadar sahabat kecilnya itu sedang menyalurkan semua emosinya kesana- sesuatu ikut menyakitinya. Sesuatu yang sama yang membuat Arin dan Aga berdiri dengan nafas memburu, sesuatu yang sama yang membuat Arin menyadari bahwa bukan hanya darah dan keringat yang membasahi wajah babak belur Aga, tapi juga air mata.
"Ayo ikut gue" ajak Aga. Arin tidak bergeming, tatapannya jatuh pada lajur kemerahan melingkar di bekas genggaman Aga.
***
Arin sudah membayangkan gedung tinggi berwarna putih dengan berbagai macam manusia dengan rasa sakit yang beragam. Tapi Arin segera sadar rumah sakit bukanlah tujuan mereka waktu Aga mengebut keluar ke area Jakarta dan membelok ke dataran terjal.
Arin tidak begitu suka pantai. Pantai baginya hanya hamparan pasir luas, air asin dingin, terik matahari dan keramaian yang tidak perlu. Tapi pantai yang satu ini entah kenapa kosong, seolah orang orang menghindarinya karena sesuatu.
"Ray udah sadar dari operasi yang kemarin" Aga memulai ceritanya sementara mereka berdua berjalan di atas butir butir pasir dengan kaki telanjang. Cerita demi cerita mengalir mulai dari bagaimana ibu aga, Bu Laras yang juga menjadi rektor kampusnya- mengabaikan kedua anaknya sampai ayah Aga yang menghilang ke luar negeri dan melupakan dua anaknya yang tertinggal di sini. Beberapa kali Aga tertawa, tertawa karena kalimat ini terasa lebih menyakitkan dari dusta dusta raksasa yang selama ini dia jaga.
Ombak sedang tenang dan di ufuk cakrawala matahari terbenam, Rasanya seperti sesuatu dalam diri aga turut padam.
Arin memejamkan mata. Cerita itu melingkupi setiap sel sel otaknya,membuat kepalanya terasa berat. Mungkin aga juga merasakan hal yang sama, karena laki laki itu berhenti untuk mengontrol diri selama beberapa saat.
"Dan laki bajingan itu gampang banget bilang kalo gue dapet ipk sempurna karena bantuan nyokap gue, haha".
Ketika akhirnya dia melanjutkan, Arin sadar ada yang berbeda dari nada bicaranya.
"Kalaupun ada yang bisa bantu idup gue, gue cuma mau minta tolong sembuhin adek gue"
Seolah ada sesal yang tersirat di setiap suku kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
kalo boleh jujur, saya merasa kehilangan
RomanceKedua orangtuanya bercerai dan meninggalkannya bersama adiknya yang terkena kanker otak. Bukan perkara yang gampang untuk diterima. Namun, Aga selalu bisa menutupinya dengan dusta-dusta raksasa yang dia jaga. Aga sudah belajar untuk tidak berekspek...