Mimpi Buruk

60 34 128
                                    

Hai-hai. Cerita ini masih banyak kurangnya. Aku akan seneng banget jika kalian berkenan memberi kritik dan sarannya.

Selamat membaca

****

Kaki-kaki mungil itu terus berlalu. Tak peduli terik sang surya yang menghentak di atas kepala. Tak peduli kericil-kerikil kecil yang mungkin saja menyakiti kaki mungilnya. Yang ia ingin hanya berlari, berlari dan terus berlari. Perlahan tangan mungilnya meraih tubuh perempuan yang ada di depannya. Tubuh mungil itu melorot, bersimpuh di bawah perempuan itu, sembari memeluknya erat.

"Lepas, Binar!" hardik perempuan itu. Binar tak putus asa, ia semakin mengeratkan pelukan seiring tubuh perempuan itu yang semakin meronta. "Binar enggak mau di sini. Binar ikut ya. Jangan tinggal Binar di sini ya," ucapnya sambil sesenggukan.

Perempuan itu menatap Binar sejenak. Lalu segera berpaling. Ia menarik napas dalam, kemudian membuangnya kasar. "Hei, bangun. Lihat Mama."

Binar kecil menurut dia mendongak menatap wajah perempuan yang menyebut dirinya 'mama'. Perempuan itu membimbing Binar untuk berdiri, ia berjongkok untuk menyamai tinggi Binar. "Denger ya Binar. Bapak kamu lagi sakit, kamu jangan nakal. Jangan nyusahin bapak. Jadi anak yang penurut."

Binar hanya mendengar rentetan kata yang keluar dari mulut mama. Nakal, nyusahin, anak penurut, kata-kata itu berhasil masuk dan berkeliaran di kepalanya. Membuatnya yang semula menangis, menyisakan isakan kecil.

"Kamu di sini saja, nanti kalau bapak kamu sudah sembuh. Bapak kamu akan jemput kamu. Nurut sama Mama. Kamu mau bapak kamu sakit terus? Enggak 'kan?"

Binar menggeleng. Hatinya mulai luluh. Ia mengurai pelukannya. Mama pun pergi menjauh meninggalkan Binar, tanpa menoleh kembali. Binar kembali terisak, inginnya menggapai tubuh itu lagi. Tapi, percuma. "Jangan...."

Binar mengerjap. Keringat bercucuran membahasahi pelipisnya. Ia duduk bersandar sembari menetralkan napas yang tak beraturan. Diraihnya segelas air putih di nakas lalu meneguknya sampai tandas layaknya anak kecil yang kehausan setelah lari-larian.

"Kenapa wajah itu datang lagi ke mimpiku?" gumamnya dalam hati. Ia menghela napas dalam.

Jam di atas nakas masih menunjukkan jam tiga pagi. Masih terlalu dini baginya untuk memulai aktifitas. Lagi pula ia juga baru saja bisa tertidur satu jam yang lalu. Binar kembali merebahkan tubuhnya, berusaha memjamkan mata meskipun pikiran sedang berkelana.

"Ini sudah sangat terlambat bukan? Pantaskah jika aku masih menunggu? Apa bapak baik-baik saja?" Binar membalikkan tubuhnya. Nyatanya sekeras apapun berusaha memejamkan kedua matanya, tak berhasil juga membuatnya tertidur. Ia menatap langit-langit kamarnya. Seklebat bayangan peristiwa kembali berhambur menari-nari di pelupuk mata seperti potongan-potongan puzzle yang menuntut untuk di satukan.

Binar kira memiliki ibu baru, membuatnya bisa kembali merasakan hangatnya kasih sayang ibu. Ternyata kenyataan tak seindah harapan yang selalu ia pupuk. Dongeng bawang merah bawang putih yang sering menjadi pengantar tidur untuknya menjelma dalam kehidupan. Asti- sosok ibu peri yang ia harap memberi pelukan hangat sebelum tidur untuknya berubah menjadi sosok lain seiring berjalannya waktu.

Satu demi satu potongan puzzle terkumpul, mengingatkannya pada kenangan pahit yang berusaha ia kubur selama ini. Meski sudah 20 tahun berlalu, kejadian itu masih saja terasa hangat, seperti baru kemarin terjadi.

"Ma, kenapa pakaian Binar di masukkan semua? Kita mau pergi kemana?" tanya Binar. Asti tak menanggapi pertanyaan Binar. Wanita itu mengeluarkan semua potongan baju Binar dan memasukannya dalam tas.

"Ayo ikut." Asti menarik tangan Binar keluar dari kamar. Membawanya keluar dari rumah.

Andai perjalanan hidup ini adalah paragraf-paragraf cerita pendek, atau kisah-kisah di novel mungkin manusia akan lebih memilih bagian-bagian indahnya saja dan melewati bagian-bagian pahit bait-bait cerita. Nyatanya tidak seperti itu, hidup seperti sebuah tulisan dalam sebuah diary. Pahit, manis semua tertuang di sana tanpa tahu di mana ujungnya.

***

"Pagi, Bun." Binar memeluk perempuan cantik di depannya lalu memberikan kecupan di pipi. Meskipun usianya telah mendekati kepala lima, perempuan itu masih nampak jauh lebih muda dari usianya.

"Pagi, Bi," jawab wanita itu lalu membalas kecupan di pipi Binar.

"Ayo sarapan dulu." Bunda melenggang ke meja makan dengan membawa piring di tangannya. "Itu nasi gorengnya bawa ke sini sekalian," teriak Bunda dari meja makan. Binar mengambil nasi goreng di sampingnya dan membawanya ke meja makan.

"Ayah sudah berangkat, Bun?" Binar menarik kursi di samping bunda kemudian duduk.

"Iya, sudah berangkat tadi pagi. Katanya ada meeting di luar kota," jawab Bunda.

"Tunggu." Bunda menatap wajah Binar dengan tatapan penuh menyelidik.

Binar yang kaget reflek menyimpan kembali sendok di atas piring, "Kenapa, Bun?"

"Mata kamu kenapa?" tanya Bunda.

"Oh, ini. Bukan apa-apa," jawab Binar.

"Kerja boleh tapi ingat diri sendiri juga dong. Anak gadis Bunda kok kucel gitu," celutuk Bunda.

Binar tersenyum tipis. Ia mulai menyendok nasi goreng di piringnya. Sesekali menatap perempuan di depannya yang juga sibuk dengan hidangan di depannya. Walaupun perempuan di depannya selalu menuntut Binar, namun itu tak terlalu buruk. Keluarga ini masih menerimanya dengan tangan terbuka. Mau menampungnya, memberi pakaian juga pendidikan yang layak.

"Gimana kerjanya?" tanya Bunda.

"Baik Bun," jawab Binar. Ia melanjutkan sarapan pagi dengan sedikit tergesa. Sudah hampir jam tujuh pagi Ia tak ingin terlambat. Jarak rumah dan tempatnya bekerja lumayan jauh. Belum lagi kalau macet.

"Pelan-pelan. Makanya jangan begadang terus. Jadi kesiangan 'kan?" protes Bunda melihat putrinya yang makan terburu-buru.

"Oh ya, tante Shinta bilang, Zio sudah menyelesaikan S-2nya. Dia akan segera pulang."

"Iya, Bun...." Binar segera menyelesaikan sarapannya. Ia tak ingin telat, gara-gara tidur cuma satu jam membuatnya berat beranjak dari tempat tidur. Andai saja tidak ada tugas pagi ini, mungkin ia akan lebih memilih hibernasi seharian.

"Binar berangkat dulu ya, Bun. Assalamualaikum." Binar berlalu setelah mencium punggung tangan Bunda.

"Hati-hati," teriak Bunda. Binar tak lagi menjawabnya, ia bergegas masuk ke dalam mobil hadiah dari sang ayah setelah kelulusannya sebagai dokter umum. Ia mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan ibu kota Jakarta.

Setelah melewati hiruk pikuk jalanan ibu kota, akhirnya mobil Bmw i8 yang ditumpangi Binar masuk ke halaman gedung bertingkat yang berada di tengah Jakarta. Di sinilah Binar mulai bekerja. Pengalaman masa lalu Binar yang tak mudah, menggugah jiwanya untuk menjadi seorang dokter. Impiannya cukup sederhana ingin hidupnya berguna untuk orang lain terutama bagi orang-orang yang memiliki nasib sama dengannya. Awalnya kedua orang tua angkat Binar kurang setuju. Namanya keluarga pebisnis tentunya mereka ingin keluarganyalah yang melanjutkan estafet kepemimpinan. Namun, akhirnya mereka mengalah. Tentu saja semua itu tidak gratis. Ada harga yang harus Binar bayar agar bisa menjadi seorang dokter. Tidak masalah bagi Binar, asal ia bisa mewujudkan mimpinya. Meskipun harus mengorbankan masa depannya.

Binar Dalam GelapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang