Pertemuan Pertama

11 7 6
                                    

Embusan angin lembut menyapu pipi Binar. Langit kelabu dengan hiasan bintang yang yang bisa dihitung jumlahnya turut menyaksikan kebisuan dua anak manusia yang tengah menikmati angin malam di balkon rumah megah itu.


"Mau ngomong apa, Mas?" Binar mengalah, ia akhirnya memulai pembicaraan. Melawan kecanggungan yang tercipta selama ratusan detik.


"Aku tahu kamu enggak nyaman, kan?" Zio menoleh menatap wajah Binar lekat. Ia cukup lama kenal gadis itu. Meskipun Binar berusaha menutup akses kehidupannya dari Zio, namun Zio tak habis  akal untuk berusaha dekat dengannya.

"Enggak nyaman? Biasa saja."

"Apa salahnya sih jujur saja, Bi..."

Binar mengeryit. Entah kenapa sikap sok peduli laki-laki itu malah semakin membuatnya muak. Apa ia terlalu jahat mengabaikan laki-laki sebaik Zio? Entahlah hati kecilnya menolak kehadiran laki-laki itu, dan rasa itu tetap sama seperti tujuh tahun yang lalu.


***


Binar benar-benar kesal. Seragam putih abu-abunya penuh dengan bercak cokelat. Belum lagi tugas mind mapping-nya juga kotor, kertas lembek. Sumpah! Binar tidak akan melupakan hal itu. Susah payah Binar membersihkan rok abu-abunya di toilet. Hanya itu satu-satunya jalan. Akan semakin memakan waktu jika ia meminta orang rumah untuk mengantarkan baju ganti.


Pagi itu jalanan ibu kota masih basah. Beberapa genangan masih ada di beberapa titik jalan. Binar berlari di punggung jalan. Terpaksa. Mobil yang biasa mengantarnya, mogok di tengah jalan. Padahal masih ada dua ratus meter lagi untuk sampai di sekolahnya.


"Ah... tahu begitu Binar akan mengikuti saran pak Mamad saja untuk naik taksi. Ah... nasi sudah menjadi bubur," gerutu Binar, yang jelas ia tak akan melupakan cowok tak bertanggung jawab yang seenak jidadnya ugal-ugalan di jalan. Benar-benar membuat hari Binar berantakan.


"Udahlah Bi... Udah kelewat juga. Baju lo juga udah kering, kan? Masih ditekuk aja itu muka." Petuah-petuah Anya seakan menguap begitu saja. Tak ada yang masuk di kepala Binar. Mood-nya benar-benar berantakan. Bukan perkara baju, tapi tugasnya yang tak layak untuk dikumpulkan, ditolak mentah-mentah oleh bu Rizka -guru kimia yang terkenal killer di sekolahnya. Ditambah lagi mengingat sikap tak bertanggung jawab pengguna motor yang membuat bajunya kotor.

"Enggak tahu lah kesel gue." Binar mengaduk-aduk es teh di depannya agar gula yang mengendap di bawah cepat larut.

"Terus lo maunya gimana? Lo uring-uringan gini enggak akan ngembalikin waktu juga. Lagian kamu kan anak mas bu Rizka, sekalipun beliau marah- enggak meledak-ledak tuh, kamu tetap ditolerir."

Ya-ya, Binar memang beruntung. Segalak-galaknya bu Rizka, kemarahannya karena hal yang menurut beliau ceroboh itu tak membuat kemarahannya meledak-ledak. Binar masih diberi waktu untuk mengerjakan ulang.

"Ini mbak, mie ayamnya." Interupsi pelayan warung mie ayam depan sekolah mereka mengalihkan pembicaraan mereka. Warung dengan rumah 4x4 meter itu akan selalu ramai saat jam pulang sekolah. Bukan cuma anak Pelita Bangsa saja yang makan di sana, tapi juga anak Bima Karya-sekolah yang tak kalah elit dari sekolah Binar dan hanya berjarak tiga ratus meter dari sekolah Binar.

Binar Dalam GelapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang