"Dari mana saja sih, Bi? Bunda telepon kamu dari sore, lho. Kata Nina sudah keluar dari jam empat." Anita- perempuan yang resmi menjadi ibu Binar sejak sembilan belas tahun yang lalu itu terus saja membeo. Sambil mengikuti Binar ke kamar.
Binar mendesah. Dirinya bukan anak kecil lagi. Apa tidak terlalu berlebihan jika harus laporan tiap kali pulang terlambat. "Binar ada kepentingan di luar tadi, Bun. Lagian Bunda kenapa, Binar sudah gede. Enggak akan hilang."
"Bukan begitu, Bi. Kalau sampe Ayah kamu tahu, bisa marah." Anita benar, ayahnya memang protektif. Sekalipun ada Anita yang kerap kali jadi penengah, tetap saja Anita kalah dengan titah sang suami.
Anita duduk di atas tempat tidur sedang Binar masih terlihat mondar-mandir di kamar. Ia mengambil baju ganti setelah meletakkan kemeja kotornya di keranjang. Lalu duduk di depan meja rias. Mengambil kapas, lalu membersihkan wajahnya dari sisa make-up dan kotoran setelah seharian beraktifitas.
"Kan udah biasa, Bun. Semua yang Binar lakukan sering kali salah di mata ayah."
"Ayah itu sayang sama kamu, Bi. Bahkan sejak pertemuan pertama kita. Mungkin sikapnya agak keras. Tapi, itu semua untuk kamu."
Tak akan habis berdebatan itu. Ia memilih diam. Lelah.
"Ini." Anita menyodorkan paper bag yang sore tadi ia letakkan di kamar Binar. Binar mengambil bingkisan itu, lalu membukanya. Sebuah gaun hitam lengkap dengan aksesorisnya ia keluarkan dari sana.
Binar mengeryit. "Buat apa?"
"Memang Bunda belum bilang ya? Keluarga Zio mengundang kita makan bersama malam ini. Zio kan baru kembali." Binar mengangguk, ia sendiri lupa apa Bundanya itu sudah memberi tahunya atau belum.
"Sudah. Buruan siap-siap. Bunda juga mau siap-siap. Jam delapan kita berangkat." Anita beranjak meninggalkan kamar Binar. Perempuan itu selalu terlihat antusias jika menyangkut hubungan Binar dan Zio. Pasalnya ibu Zio adalah salah satu teman se-genk masa kuliah dulu, dan berlanjut menjadi satu kelompok arisan setelah sama-sama menjadi istri pebisnis. Jelas saja ia merasa beruntung jika perjodohan ini berlangsung dengan baik. Apalagi keduanya sudah terlanjur membanggakan hubungan keduanya di depan teman-teman arisan mereka.
Dress hitam dengan panjang di bawah lutut membalut tubuh rampingnya. Kali ini ia cukup puas, karena model dress yang dipilihkan sesuai dengan seleranya. Meskipun agak ketat, tapi tak membiarkan tubuh bagian atasnya tersentuh oleh angin. Binar mulai merias diri. Ia cukup lincah dalam urusan merias diri. Karena Anita selalu mengajarkan agar ia bisa berpenampilan menarik. Selesai dengan make-up tipis di wajah, ia beralih ke rambut. Ia menggulung rambutnya ke atas, menampilkam leher jenjangnya, membiarkan beberapa helai menjuntai di bagian depan.
"Sudah siap, Bi?" ketukan pintu terdengar. Membuat fokus Binar terpecah. Sedikit lagi ia selesai. Tinggal menyemprotkan parfum di tubuhnya.
"Iya, Bun. Bentar lagi."
"Bunda tunggu di bawah. Sebentar lagi Ayah juga pulang jemput kita."
"Iya, Bun."
Suara ketukan sepatu dan lantai terdengar semakin menghilang dari pendengaran Binar. Binar melanjutkan kegiatannya. Memastikan bahwa ia harus menjadi satu-satunya tuan putri di acara malam ini, seperti yang diinginkan kedua orang tuanya.
****
Mobil sedan yang mereka tumpangi merapat di depan rumah megah dengan gerbang-gerbang tinggi menjulang yang melindungi rumah itu. Rumah bergaya modern dengan halaman yang luas, serta lampu taman yang berjajar dari depan pintu gerbang, seakan memberi sambutan pada mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Binar Dalam Gelap
RomanceKaki-kaki mungil itu terus berlari dengan derai air mata yang membasahi pipinya. Tak peduli dengan teriknya sang surya, tak peduli dengan kericil-kericil kecil yang bisa saja membuatnya terluka. "Jangan..." Tangan mungil itu mencoba meraih sosok di...