• Bagian Satu

6 1 0
                                    

Gelap namun tidak benar-benar gelap. Benda persegi terus memancarkan cahaya yang tidak satu warna. Dari cahaya itu terpantul lah tiga wajah yang tampak serius menatap benda persegi. Mereka berkedip beberapa kali. Dengan tangan yang terus memasukkan camilan ke dalam mulut. Tidak henti-hentinya jantung mereka berdebar. Apalagi jantung gadis yang berkerudung hitam, ia terus melotot dengan hati yang terus membaca ayat kursi. Sudah hampir satu jam mereka menonton. Film horor tetapi serasa menonton film kanibal, vampir, pembunuhan berantai darah di mana-mana. Tetapi tidak ada hantu sama sekali. Aneh bukan? Meskipun aneh film berjudul magnesium ini tetap mereka nikmati. Tidak ada ucapan yang keluar sejak tadi. Benda persegi terus Menayangkan seorang perempuan yang direkam lewat CCTV sampai perempuan itu melompat tepat di depan kamera dan kehebohan pun terjadi.
“Aaaaa,” teriakan yang begitu memekakkan telinga keluar dari rongga mulut gadis yang bernama Yuni. Ia memegang dadanya kuat,”astagfirullah, astagfirullah,” jantung berdetak makin tidak karuan.
Sementara dua sahabatnya malah tertawa terpingkal-pingkal.
“Komuk Lo, Yuni,” ujar syahila kembali tertawa.
“Sialan Lo pada,” Yuni mendengus pelan,” untung jantung gue nggak copot. Kalau copot terpaksa harus ganti pake jantung ayam.”
“Untung gue udah tahu jadi nggak kaget,” ujar Ivena.
“Nyeyenye,” cibir Yuni yang jantungnya masih dah dig dug. Yuni beranjak dari tempat duduknya lalu meraba-raba dinding mencari sakelar.
“Oy sakelar nya dimana?” tanya nya.
“Samping pintu,”jawab Ivena.
Ruangan kembali terang saat Yuni berhasil menemukan sakelar. Ia kemudian bergegas menuju cermin yang menggantung membenarkan kerudungnya dan memastikan tidak ada cabai yang menempel di giginya.
“Mau kemana Lo, Yun?” tanya Syahila.
“Kepo,” jawab ketus Yuni.
“Dih, marah. Baperan Lo Yun,” ujar Syahila.
“Yun, masa gitu doang marah. Nanti kita beliin jantung ayam deh,” bujuk Ivena.
Yuni mengela napasnya pelan,” sekarang udah jam empat gue harus ke bandara.”
“Ngapain?” tanya Ivena.
“Mau kemana Lo,?” Tanya Syahila.
“Minggu kemarin kan gue udah bilang, kalau gue ada olimpiade di Surabaya,” jelas Yuni sambil menggendong tasnya.
Syahila dan Ivena mengangguk,” sukses ya semoga berhasil,” ujar Ivena.
“Maaf nggak bisa nemenin Lo,” ujar Syahila.
“No problem. Doa dan semangat aja cukup.”
“Bareng sama gue aja pulang nya, Yun,” ajak Syahila.
“Loh, Lo juga mau pulang, Sya?” tanya Ivena dengan tatapan tidak terima. Syahila mengangguk,” yeah nggak asik yang ke kafe siapa dong?” tanya tidak terima. Ia memajukan sedikit bibirnya.
“Ya elo lah. Hari ini kan emang jadwal Lo pantau kafe,” jawab Syahila.
“Emang Lo mau kemana?”
“ketemu seseorang.”
“Jangan bilang___,” Ivena menyipitkan matanya.
Syahila menyengir kuda. Yuni menggeleng pelan, “ belum puas Lo jadi samsak, atau masih mau coba melarat?”
“Tega Lo,” Syahila tidak terima Yuni berkata seperti itu.
Yuni menggidikkan bahunya acuh, “ gue pulang ya, Na. Salamin ke Tante Sifa jangan lupa. Bilangin maaf udah teriak-teriak tadi.”
“Iya sip.”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
“Woy katanya mau bareng?” tanya Yuni sambil berjalan keluar.
“Iya bentar,” iya kemudian menyemprotkan minyak wangi ke tubuhnya,”Na, gue udah cantik kan?” tanyanya.
“Udah,” jawab Ivena malas.
“Serius?”
“Udah ah sono pergi,” Ivena mendorong tubuh Syahila keluar dari kamarnya.

~~~

Bersambung...

Persahabatan Tiga Remaja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang