• Bagian Dua

2 1 0
                                    

Setelah pulang menumpang pada Syahila sekarang Yuni sudah berada di taman. Jadwal penerbangannya di undur jadi ia manfaatkan dengan mencari udara segar. Sekalian menghilangkan sisa-sisa film tadi yang masih berputar di pikirannya.
Plak
Yuni cukup tertarik dengan tamparan itu. Ia pun yang sedang menghitung bunga dan menoleh ke belakang," bentuk nya kok kayak Syahila, sih?" Yuni terus memperhatikan mencoba mencari celah apa iya itu Syahila. Tetapi, naas posisi dua orang itu malah membelakanginya. Yuni kembali memutar kepalanya,"semoga aja bukan."
Yuni menatap jam tangan ungu yang melingkupi indah di tangannya. Waktu sudah menunjukkan bahwa ia harus segera pergi, "otak mohon kerjasamanya. Jangan oleng."
Sementara itu Ivena di kafe sedang duduk anteng. Ia tengah menikmati musik yang mengalun memecah keheningan. Tiba-tiba musiknya berhenti dan berganti dengan suara ring tone yang cukup nyaring.
"Assalamu'alaikum," ujar Ivena.
Hening. Beberapa saat kemudian ia mendengar suara tangis yang begitu memilukan. Ia jadi menegang, pikirannya langsung tertuju pada satu titik ayahnya. Ia menjadi khawatir sangat gelisah dan ingin segera berlari menuju rumah sakit.
"Ibu," panggil nya pelan.
"Iven, hiks hiks."
"Iya, Bu."
"Vena, ayah kritis, Nak."
Runtuh ketenangan Ivena. Tatapannya kosong ke depan,"Ayah," ia menggeleng pelan,"Ivena ke sana sekarang, Bu," ia segera beranjak dari tempat duduknya dan dengan terburu-buru pergi keluar. Ia harus cepat pergi ke rumah sakit.

~~~

Bersambung...

Persahabatan Tiga Remaja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang