• Bagian Tiga

9 1 0
                                    

Satu hari kemudian, Syahila dan Ivena janji bertemu di kafe mereka. Tidak seperti biasanya suasana kali ini terasa lumayan canggung. Dua orang ini ingin berbicara soal apa yang mereka rasa kemarin dan saat ini. Tetapi, mereka tidak berani sebab ini bukan menyangkut diri sendiri melainkan kafe juga mereka libatkan.
"Apa gua ngomong sekarang aja?" batin Syahila.
"Nggak mungkin gue ngomong. Kalau Syahila nggak setuju gimana?" Ivena di buat pusing dengan keinginannya sendiri, "tapi kalau gue nggak ngomong nasib ayah gimana?" Ivena menggigit bibir bawahnya pelan.
"Nggak pesen minum?" tanya Syahila memecah keheningan.
Ivena sedikit terkejut ia langsung mengangkat tangannya,"mbak."
Tidak lama datang pelayan lelaki,"kayak biasa ya," pinta Syahila. Pelayanan itu mengangguk lalu ia segera pergi.
"Gue nggak mau putus sama Iqbal," teriak Syahila dalam hati.
"Sya, gue izin keatas dulu, ya. Ada yang harus gue cek."
Syahila mengangguk,"jangan lama-lama gue nggak mau di kira jomlo."
"Nyindir apa nyindir?" ujar Ivena sambil beranjak.
Sesampainya di atas. Tepatnya di ruangan khusus para atasan yaitu Ivena, Yuni dan Syahila. Ivena menatap brangkas kotak di depannya,"kalau ketahuan gimana?" Ivena sebetulnya tidak ingin melakukan hal ini. Karena itu sama saja ia mengkhianati sahabat-sahabatnya,"gue nggak peduli yang penting Ayah selamat," Ivena mulai memutar kunci brangkas. Masukkan kode yang memang ia ketahui, tanggal yang di jadikan sebagai hari jadi persahabatan mereka.
Syahila melotot tidak Percaya dengan apa yang ia lihat,"lagi ngapain Lo, Na?"
Deg
Copot jantung Ivena. Tubuhnya menjadi menegang. Ia tidak berani memutar tubuhnya. Apa yang harus ia lakukan. Ia sudah tertangkap basah. Lanjut mandi atau mulai mengeringkan diri?
"Na," Syahila berjalan mendekati Ivena.
Ivena menutup matanya erat,"gue harus gimana?"
Syahila menggeleng kepalanya,"Na, Lo mau khianatin gue sama Yuni?" Ivena tidak menjawab. Bahkan ia tidak berbalik,"Na, jawab gue?" Ivena tetap tidak menjawab," Lo tega ya, Na."
Ivena memanas ia memutuskan untuk beranjak dan pergi keluar. Tanpa menjawab satu pun pertanyaan yang di layangkan sahabat. Syahila tersenyum miring saat pintu di tutup dengan keras.
Napas Ivena memburu antara marah, kecewa dan malu. Ia menyesal kenapa harus melakukan hal seperti tadi. Ia akan mencuri. Brangkas itu berisi uang dan berkas-berkas perusahaan yang begitu penting. Brangkas itu hanya bisa di buka jika mereka bertiga sedang berkumpul. Itu yang mereka sepakati.
Setetes air mata turun. Ia segera menghapusnya. Ivena mencari ponselnya tetapi di dalamnya tasnya tidak ada. Ia menghela napasnya pelan. Ya, ponselnya tertinggal. Ivena kembali naik ke atas. Gadis yang baru saja membuka pintu tersenyum miring mendapati sahabatnya sedang melakukan hal yang tadi ia lakukan.
"Kalau sama-sama mau jadi pengkhianatan nggak sok suci."
Tubuh Syahila menegang ia langsung berbalik ke belakang. Ia cukup terkejut dengan kedatangan Ivena. Namun, sebisa mungkin ia menetralkan mimik wajahnya,"maksud Lo apaan?"
"Pasti karena cowok bajingan itu, kan?" tanya balik Syahila," bodoh."
"Iqbal nggak bodoh. Gue lakuin karena cinta. Sedangkan Lo buat apa? Foya-foya?"
"Jaga mulut, Lo?"
Suasana semakin memanas. Seseorang yang sedang menyaksikan perdebatan lewat kamera CCTV berdecak. Apa-apaan sahabatnya ini. Batu satu hati di tunggal sudah membuat badai. Yuni memijat pangkal hidungnya. Ia memutar pensil yang sedari tadi di pegangnya. Lalu ia menengok sisi kanan dan kirinya yang dipenuhi tumpukan buku. Atensinya ia fokuskan pada jam yang menggantung di dinding tepat di depannya.

~~~

Bersambung...

Persahabatan Tiga Remaja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang