• Bagian Empat

5 1 0
                                    

Dua hari kemudian Yuni pulang. Padahal ia seharusnya masih seminggu di tempat olimpiade namun sepertinya konflik yang di buat dua sahabatnya cukup serius. Sesuai apa yang di katakan nya di grup squad dugong akhirnya tiga sekawan ini berkumpul di tempat terjadinya perkara.
“Jadi gimana?” tanya Yuni memulai diskusi setelah sekian menit saling diam.
“Giman apanya?” tanya Syahila ngengas.
“Lo pasti udah tahu kan?” tanya Ivena.
Yuni mengangguk,”alasan?”
“Udah pasti dia mau jadi ATM buat pacarnya?” tuduh Ivena.
Jelas, Syahila tidak terima,”lo juga buat foya-foya nggak jelas,” Syahila tersenyum miring,” emang apa salahnya. Itu bukan uang kalian doang ada hak gue nya. Dan gue cinta sama Iqbal.”
“Ayah gue sakit dan gue butuh uang itu,” bela Ivena.
“Alasan.”
“Bisa bicara baik-baik,” punya Yuni.
“Gue rasa Lo lalai Yun,” Yuni mengatensikan matanya pada Syahila,”lo lebih mentingin diri Lo sendiri,” Yuni mengangguk,” Lo nggak pernah peduli apa yang gue rasain.”
Perdebatan itu harus terhenti karena ponsel Ivena berbunyi. Mimik wajah Ivena seketika berubah pucat pasi kala mendengar ucapan orang di seberang sana. Satu tetes air mata dapat Yuni lihat. Ivena dengan cepat dan tanpa pamit pergi keluar.
“Sya, gue harap Lo bijak kali ini. Pacaran Lo udah nggak normal. Pacar Lo itu cuman manfaatin Lo. Cinta itu saling berbagi bukannya menyakiti dan memoroti salah satu diantaranya. Gue mohon Lo pakai otak yang orang bilang pintar itu. Sahabat selalu ada tidak akan putus. Pacar belum tentu jodoh,” Yuni segera berlari mengejar Ivena.
Syahila tertegun. Ia merenungi ucapan Yuni. Pikirannya mulai mengarungi kenangan kisah cintanya dengan Iqbal. Tidak ada kenangan manis, semua tentang makian, tamparan dan ancaman. Ia mendengus dengan satu sudut bibir diangkat ke atas. Ia lalu pergi dengan pikiran yang tidak henti-hentinya berpikir.
Saat Yuni berhasil menyusul Ivena. Ia segera menghampirinya. Di koridor Ivena terduduk di lantai, “kenapa Lo nggak bilang?” tanya Yuni.
“Gue takut ngebebanin kalian.”
“Lo tunggu di sini bentar,” Yuni beranjak pergi meninggalkan Ivena yang masih menangis.
Syahila pulang. Namun pikiran nya masih kacau ia putuskan untuk ke restoran sekedar untuk menenangkan pikiran. Namun ia harus kembali menelan duri,”jadi gini. Minta duit nya sama gue. Foya-foya nya sama yang lain.”
Iqbal dan perempuan yang tidak tahu siapa terkejut dengan tamu tidak di undang,” gue bisa jelasin, Sya,” ujar Iqbal.
Syahila mengangguk,” jelasin kalau Lo cuman manfaatin gue?”
“Nggak gitu.”
“Ngertiin gue, Sya,” intonasi Iqbal naik satu oktaf.
“Ngertiin?” tanya Syahila,” oke, gue ngertiin. Ngertiin keadaan saat ini. Kalau kita harus putus.”
“Nggak bisa gitu dong,” bukan Iqbal yang berujar melainkan perempuan yang tidak tahu malu.
“Kenapa? Miskin ya. Uluh makanya kerja. Bukan manfaatin manusia bisanya. Benalu Lo pada. Haduh bodoh nya gue kenapa mau aja di tempelin parasit,” Syahila mengambil kentang goreng lalu memakannya.
“Sya, Lo mau putus sama gue?” Iqbal tersenyum miring. Ia tahu jika Syahila sangat mencintainya. Tidak mungkin ia bisa jauh darinya.
Syahila menunduk,” iya,” ujarnya sambil tersenyum,” otak gue udah berfungsi lagi. Lo nggak usah khawatir gue orang kaya yang suka sedekah kok. Jadi jangan khawatir, anggap aja uang yang gue kasih kemarin itu adalah sedekah. Goob by parasit caple.”
Syahila bukan pergi ke luar restoran melainkan ke kamar mandi. Ia menangis. Menangisi semua kebodohannya. Ia benar-benar menyesal, ia kecewa, kenapa ia begitu bodoh. Padahal kedua sahabatnya sudah sering mengingatkan. Tetapi, ia malah tidak peduli. Sekarang ia sadar.
“Yang sabar ya, Na. Ayah Lo pasti baik-baik aja. Ayah Lo pasti sembuh,” Yuni mengusap punggung Ivena yang masih berhenti menangis.
“Yun, Na,” kompak Yuna dan Ivena mendongak. Syahila tersenyum kikuk,” gue mau minta maaf. Gue sadar. Gue salah. Maafin gue, ya,” ujarnya tulus.
Yuni tersenyum,”sini, Sya,” ia menepuk kursi di sebelahnya. Syahila mengangguk dan duduk.
“Na, Lo maafin gue ya?”
Ivena menatap Syahila lalu mengangguk. Lalu mereka berdua berpelukan.
“Gue juga mau minta maaf. Karena gue terlalu fokus sama kegiatan gue. Maaf jarang dengerin keluh kesah kalian. Mulai hari ini kita saling terbuka satu sama lain, ok.”
Syahila dan Ivena mengangguk. Lalu mereka berpelukan.
Dalam persahabatan dibutuhkan saling kepercayaan. Saling terbuka. Sahabat bukan hanya tempat kita mendapat tawa dan canda, bukan sekedar gelar. Sahabat tempat kita bercerita, tempat meminta solusi, dan tempat di mana kita berbagi bagaimana mana pahit manisnya hidup yang di jalani.

~~~

Selesai

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 23, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Persahabatan Tiga Remaja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang